Opini
Opini: Menguji Janji Konstitusi 1945 pada Isu Perempuan dan Stunting
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), isu perempuan dan stunting memperlihatkan jurang antara hak tekstual dan hidup sehari-hari.
Bagaimana dengan NTT?
Ambil contoh yang mudah dibayangkan dari pedalaman Flores: bidan kontrak dating seminggu sekali, kapal barang bergantung cuaca, air tawar dibeli per jerigen.
Program bantuan telur, sayur, dan ikan digagas, tetapi pengiriman tak menentu dan komoditas mudah rusak di dermaga tanpa rantai dingin.
Ketika kelompok perempuan didampingi kader posyandu dan guru PAUD mendirikan dapur komunitas berbasis lumbung pangan lokal, situasi berubah: menu balita membaik, kelas memasak bergizi menjadi ruang belajar dua arah, dan pertemuan posyandu beralih dari ceramah menjadi dialog.
Di Timor, beberapa puskesmas menguji “jam ibu pekerja”, membuka layanan konsultasi gizi setelah matahari terbenam agar ibu yang berjualan atau mengurus kebun tetap bisa hadir.
Musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbang) mulai menempatkan perempuan sebagai perumus prioritas, bukan sekadar peserta; titik air, angkutan bersubsidi untuk rujukan ibu hamil, serta perbaikan gudang pangan menjadi usulan bersama.
Praktik-praktik ini sejalan dengan gagasan Fraser (2009): redistribusi (subsidi transportasi, air, dan pangan), pengakuan (menghapus stigma pada kehamilan remaja atau keluarga dengan anak kurus), dan representasi (kuota bicara dan kepemimpinan perempuan dalam forum).
Mereka juga menubuhkan gagasan kapabilitas (Nussbaum, 2011): kebijakan diterjemahkan menjadi kemampuan nyata memasak pangan bergizi, mengakses bidan, dan mengambil keputusan keluarga.
Kuncinya adalah kolaborasi lintas-aktor: pemerintah desa menata anggaran, gereja dan tokoh adat mengubah narasi, universitas lokal melakukan pemantauan partisipatif, dan LSM mengisi celah pelatihan.
Ketika ekosistem ini bekerja, konstitusi terasa di sumur, dapur, dan ruang rapat desa; bukan lagi teks jauh di Jakarta, melainkan praktik yang memuliakan hidup.
Dari Janji ke Kapabilitas Nyata
Delapan puluh tahun merdeka mengundang kita bergerak dari seremoni menuju perbaikan institusi.
UUD 1945 memberi bahasa harapan sekaligus alat untuk membedah dan memperbaiki praktik.
Di NTT, isu perempuan dan stunting memperlihatkan kerja konstitusi pada tingkat keseharian: dari akses air dan transportasi hingga otonomi mengambil keputusan.
Jalan keluarnya terang: gabungkan redistribusi presisi, pengakuan tanpa stigma, dan representasi bermakna dalam seluruh siklus kebijakan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.