Opini
Opini: Menguji Janji Konstitusi 1945 pada Isu Perempuan dan Stunting
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), isu perempuan dan stunting memperlihatkan jurang antara hak tekstual dan hidup sehari-hari.
Artinya, perencanaan dan anggaran Kesehatan tidak boleh sekadar formalitas; ia harus mendengar suara ibu hamil yang menyeberang laut untuk kontrol, bidan kontrak yang berpindah-pindah, serta tokoh adat yang mengelola norma pernikahan.
Interseksionalitas menolong kita melihat tumpang tindih kerentanan: perempuan muda, miskin, tinggal jauh, dan mengurus banyak anak menghadapi hambatan yang berbeda dibanding perempuan mapan di kota.
Konstitusi, dibaca secara kritis, menuntut negara menjahit kebijakan yang peka pada perbedaan, bukan one size fits all, agar hak menjadi kapabilitas nyata.
Biopolitik dan Politik Perawatan: Mengubah Angka Menjadi Martabat
Foucault menyebut biopolitik sebagai cara negara “mengelola kehidupan” melalui statistik, tata laksana, dan disiplin.
Program percepatan penurunan stunting, kartu layanan, dan dasbor angka adalah teknologi yang bisa membantu, tetapi juga berisiko mereduksi manusia menjadi target yang dikejar agar grafik menurun.
Ketika angka menguasai Bahasa kebijakan, pengalaman perempuan dapat tersingkir.
Joan Tronto (1993) menawarkan koreksi etis melalui politik perawatan: perhatian, tanggung jawab, kompetensi, dan responsivitas sebagai standar mutu kebijakan.
Di banyak kampung NTT, jarak tempuh menuju puskesmas pembantu bisa berjam-jam; air bersih bergantung musim; harga pangan bergizi berfluktuasi mengikuti kapal dan cuaca.
Dalam konteks ini, stunting bukan sekadar “kurang makan”, melainkan hasil dari struktur yang menata siapa yang berdaya membeli, bepergian, dan memutuskan.
Ketika program gizi datang tanpa memperhitungkan beban kerja domestik, jam pelayanan yang kaku, atau kebutuhan transportasi, maka kebijakan, betapapun berbiaya besar, tak menyentuh akar.
Keadilan konstitusional mensyaratkan penguatan tata kelola: pengadaan pangan lokal yang transparan dan berantai dingin, penyediaan air yang berkelanjutan, layanan kesehatan keliling yang pasti jadwalnya, serta kaderisasi yang memberi honor layak.
Pendekatan sensitif gender dalam perencanaan dan penganggaran (gender-responsive budgeting) bukan “bonus”, melainkan syarat konstitusional agar alokasi benar-benar menjangkau yang paling membutuhkan.
Audit sosial, kanal pengaduan yang mudah diakses, dan publikasi anggaran dalam format sederhana menjadi bagian dari representasi yang bermakna.
Dengan demikian, angka kembali menjadi alat untuk memuliakan martabat, bukan menggantikan manusia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.