Opini
Opini: Setitik Optimisme Dari Kota Karang di Tengah Kemuraman Nasional
Tata kelola pemerintahan adalah jantung utama yang akan menentukan “mood” masyarakat secara umum.
Maka, slogan “To Govern is To serve” adalah angin segar dalam atmosfer pelayanan publik.
Mungkin akan menjadi sangat provokatif tapi izinkanlah kami bertanya, “Seberapa banyak pemimpin di Indonesia yang berpikir bahwa sejatinya govern adalah bentuk pelayanan?” Anda boleh menjawab sepuasnya.
Hal inilah yang membangkitkan rasa optimisme di tengah kegersangan semangat.
Slogan ini walaupun sederhana dan jamak, bahkan bagi beberapa pihak dianggap bentuk bualan baru, tapi punya kekuatan untuk menggerakkan hati manusia.
Sebagai sebuah penanda penting bahwasannya hakikat tata kelola pemerintahan adalah menjadikan publik atau masyarakat sebagai pihak untuk dilayani, bukan pihak yang hanya untuk dikontrol dan dikendalikan, dan masyarakat tentu saja bukan objek kekuasaan yang dapat diperlakukan semena-mena.
Seperti konsep yang diperkenalkan oleh Ernst Forsthoff (dalam Meinel, 2006): “service-oriented government”, yang merupakan transformasi model pemerintahan yang sebelumnya lebih berorientasi regulasi menjadi pemerintahan yang berfungsi sebagai penyedia layanan kepada warga, berlandaskan prinsip demokratis dan berpusat pada masyarakat.
Diperkuat juga oleh Winarno dan Retnowati (2019), bahwa pelayanan publik adalah cerminan pelayanan yang memenuhi hak-hak dasar warga, diatur oleh sistem pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Sejalan dengan ideal tata kelola kenegaraan, semangat untuk melayani sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan yang terpampang dalam slogan Pemerintah Kota Kupang tentu saja tidak hanya luhur sebagai sebuah nilai tapi merupakan suatu oase kesegaran yang membangkitkan optimisme di tengah kegersangan pesimisme yang melanda saat ini.
Akan sangat baik apabila spirit pelayanan ini juga diadopsi oleh seluruh bentuk pemerintahan lintas domain di negeri ini, sehingga optimisme terhadap negara tumbuh subur kembali karena pemerintah berkomitmen untuk melayani masyarakatnya.
Namun tentu saja masyarakat tidak bisa dilayani oleh slogan yang rupawan.
Sebagai sebuah tantangan, tulisan ini ingin memberikan pertanyaan fundamental mengenai perwujudan dari semangat untuk melayani tersebut.
Apakah spirit ini hanya akan mentok sebagai jargon dan propaganda ataukah dia akan menukik dan membumi sebagai tata cara berpemerintahan yang benar-benar mendasarkan diri pada pemenuhan hak rakyat dengan cara yang menghormati dan menghargai martabat rakyat secara komplit dan bagaimana aspirasi masyarakat dikelola secara manusiawi dan diakomodasi dalam paket layanan dan produk kebijakan, sehingga spirit melayani hidup dan mewujudnyata dalam atmosfer berpemerintahan.
Kita sedang berada di momentum yang tepat untuk merefleksikan hal ini. Gaya berpemerintahan yang “melayani” akan kembali menggairahkan semangat ber-Indonesia yang sedang terjun bebas.
Dalam sayup-sayup perayaan HUT ke-80 RI ini ada baiknya setiap level pemerintahan di Indonesia kembali berpikir dan berusaha untuk mewujudnyatakan pelayanan yang prima dan penuh penghargaan terhadap martabat rakyat.
Semoga pada akhirnya kita melihat optimisme mekar kembali di tanah air. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.