Opini
Opini: Ironi Nama Waka Nga Mere di Balik Kematian Prada Lucky
Dalam bahasa Nagekeo selatan, waka nga berarti karakter, wibawa, martabat, aura wajah; sementara mere berarti besar.
Oleh: Vitalis Wolo
Pegiat sosial, tinggal di Naimata, Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Nama bukan sekadar deretan huruf. Dalam tradisi banyak masyarakat di Nusa Tenggara Timur ( NTT), nama mengandung makna yang dalam, doa yang hidup, dan cita-cita yang ingin diabadikan.
Begitu pula dengan Waka Nga Mere, nama yang disandang Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) 834 yang bermarkas di Mbay, Kabupaten Nagekeo.
Dalam bahasa Nagekeo selatan, waka nga berarti karakter, wibawa, martabat, aura wajah; sementara mere berarti besar.
Makna itu, jika dihidupi sepenuhnya, menggambarkan prajurit gagah-perkasa, berwibawa, bermartabat tinggi, dan memiliki jiwa ksatria.
Sayangnya, makna luhur ini kini ternodai oleh peristiwa tragis: meninggalnya Prada Lucky, seorang prajurit muda anggota Yonif 834/BTP “Waka Nga Mere”, yang diduga kuat menjadi korban penganiayaan rekan-rekan dan seniornya sendiri.

Dari keterangan medis dan pengakuan terakhirnya kepada seorang dokter di RSUD Aeramo, Nagekeo, sebelum meninggal, terungkap bahwa luka-luka di tubuhnya bukan akibat kecelakaan, melainkan kekerasan yang disengaja.
Peristiwa ini tidak hanya memukul hati keluarga dan masyarakat Nagekeo, tetapi juga menggores citra TNI di daerah.
Nama besar Waka Nga Mere seakan berubah menjadi ironi: di balik simbol wibawa dan martabat, terselip tindakan brutal yang mengingkari semua itu.
Nama sebagai Kompas Moral
Nama satuan militer bukan hanya penanda administratif; ia adalah kompas moral yang mengarahkan perilaku anggotanya.
Ketika sebuah batalyon menyandang nama dengan makna luhur, seluruh personelnya terikat pada standar etika dan profesionalisme yang tinggi.
Publik mengharapkan perilaku yang konsisten dengan makna tersebut: disiplin, hormat terhadap sesama, dan perlindungan bagi rakyat.
Dalam hal Waka Nga Mere, makna wibawa dan martabat seharusnya menghalangi setiap tindakan yang merendahkan sesama prajurit.
Kekerasan internal—apalagi yang berujung pada kematian—merupakan bentuk pengkhianatan ganda: pengkhianatan terhadap korban yang adalah rekan seperjuangan, dan pengkhianatan terhadap nilai yang dikandung nama itu sendiri.
Tragedi Prada Lucky membuktikan bahwa simbol, betapapun indah, bisa kosong bila tidak disertai internalisasi nilai dalam keseharian.
Nama bisa menjadi topeng yang menutupi realitas buruk jika tidak ada kepemimpinan yang konsisten, pelatihan nilai yang efektif, dan mekanisme akuntabilitas yang kokoh.
Budaya Kekerasan dan Senioritas
Banyak laporan publik tentang dunia militer di berbagai negara menunjukkan bahwa hazing atau perpeloncoan masih menjadi masalah serius.
Di Indonesia, istilah “pendidikan mental” kerap dipakai sebagai pembenaran kekerasan fisik dan psikologis terhadap junior.
Dalam konteks satuan militer, di mana hirarki ketat menjadi norma, potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh senior terhadap junior cukup besar.
Pola perilaku ini dapat dijelaskan lewat teori 'moral disengagement' dari Albert Bandura: pelaku memisahkan tindakannya dari nilai moral yang seharusnya dipegang.
Kekerasan dibingkai sebagai “pembelajaran”, “hukuman yang pantas”, atau “uji loyalitas”, sehingga rasa bersalah dapat ditekan.
Masalahnya, pembenaran semacam ini justru menghancurkan nilai inti militer seperti esprit de corps (jiwa korsa), solidaritas, dan perlindungan antaranggota.
Jika benar Prada Lucky dianiaya oleh rekan atau seniornya, itu berarti esprit de corps telah runtuh di titik paling fundamental.
Satuan yang seharusnya menjadi keluarga kedua malah menjadi sumber ancaman.
Ini menciptakan efek domino: anggota kehilangan rasa aman, kepercayaan publik luntur, dan makna simbolik nama batalyon menjadi bahan sinisme.
Dampak Sosial dan Persepsi Publik
Sebelum kasus ini, kehadiran Yonif 834/BTP di Mbay diterima positif oleh masyarakat Nagekeo.
Nama Waka Nga Mere memberi kesan gagah dan membanggakan, seolah menjadi perwakilan nilai luhur masyarakat setempat dalam tubuh TNI.
Namun, tragedi Prada Lucky berpotensi membalik persepsi ini. Masyarakat yang awalnya ramah dan mendukung kini bisa merasa takut atau resisten terhadap satuan tersebut.
Ketakutan ini bukan hanya terhadap individu pelaku, tetapi terhadap citra institusi yang dianggap membiarkan kekerasan terjadi di dalam barak.
Dalam teori sosiologi militer, kepercayaan publik adalah modal sosial utama TNI di wilayah tugas. Sekali modal ini runtuh, pemulihannya memerlukan waktu lama dan usaha besar.
Kewajiban Hukum dan Reformasi Budaya
Dari perspektif hukum, kasus ini harus ditangani dengan transparan oleh otoritas hukum militer, mulai dari Subdenpom di Ende hingga pengadilan militer.
Hukum pidana militer jelas melarang tindakan penganiayaan antar prajurit, apalagi yang menyebabkan kematian.
Penegakan hukum yang tegas tidak hanya memberi keadilan bagi korban dan keluarganya, tetapi juga menjadi sinyal bahwa TNI tidak menoleransi budaya kekerasan internal.
Namun penegakan hukum saja tidak cukup. Diperlukan reformasi budaya organisasi untuk membasmi praktik kekerasan berbasis senioritas.
Pelatihan nilai yang menghidupkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit harus diutamakan, bukan sekadar dihafal atau diucapkan saat upacara.
Mekanisme pelaporan internal yang aman, program anti-hazing, dan pengawasan dari perwira harus diperkuat.
Kasus Serupa: Indonesia dan Dunia
Kasus dugaan penganiayaan hingga tewasnya Prada Lucky bukanlah peristiwa terisolasi. Dalam dua dekade terakhir, sejumlah kejadian serupa pernah mencuat di tubuh TNI.
Misalnya, pada 2023, Prada MZR, anggota Batalion Xeni Tempur 4/ Tanpa Kawandya - Kodam IV Diponegoro tewas setelah dianiaya enam orang seniornya.
Setahun sebelumnya, tepatnya tanggal 5 November 2022, Prada MAP, anggota TNI Yonif 614/Raja Pandit - Kodam VI Mulawarman, juga tewas setelah dipukul dan direndam oleh dua orang seniornya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, kasus terkenal adalah kematian Private Danny Chen pada 2011, seorang prajurit keturunan Tionghoa yang bunuh diri setelah berbulan-bulan menjadi korban perundungan rasial dan kekerasan fisik dari rekan-rekan satu unitnya di Afghanistan.
Di Korea Selatan, kematian Private Yoon pada 2014—yang dianiaya dan dikeluarkan dari latihan fisik oleh seniornya—memicu reformasi besar-besaran dalam pelatihan militer dan pembentukan unit pengawasan independen.
Sementara di Australia, skandal “ADFA Skype Affair” dan laporan-laporan hazing brutal di Australian Defence Force Academy membuka mata publik bahwa kekerasan internal dapat menghancurkan reputasi institusi militer yang selama ini dianggap tak tergoyahkan.
Pola yang tampak serupa di berbagai negara adalah adanya kombinasi faktor seperti budaya senioritas yang tak terkendali, di mana “pendidikan” sering berubah menjadi penyiksaan; pembiaran institusional, ketika pimpinan menutup mata atau menganggap insiden sebagai masalah kecil internal ; minimnya mekanisme pelaporan aman yang membuat korban dan saksi takut berbicara ; serta kontradiksi antara doktrin resmi dan praktik lapangan, di mana nilai luhur yang dihafal tidak dijalankan.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi Batalyon Waka Nga Mere bukan hanya soal individu pelaku, tetapi juga soal sistem dan budaya yang memungkinkan kekerasan terjadi.
Jika pembenahan tidak dilakukan secara menyeluruh, kasus serupa dapat terulang meski nama satuan atau wilayah berbeda.
Menghidupkan Kembali Makna Waka Nga Mere
Pemulihan citra Waka Nga Mere harus dimulai dari dalam. Setiap prajurit perlu menginternalisasi kembali makna nama itu sebagai pedoman perilaku: gagah bukan berarti brutal, wibawa bukan berarti menakut-nakuti, martabat bukan berarti menjatuhkan sesama.
Kegagahan sejati diukur dari kematangan mengendalikan kekuatan, bukan dari kemampuan melukai.
Pimpinan batalyon memegang peran sentral. Kepemimpinan teladan—yang tegas terhadap pelanggaran namun adil dan melindungi anggotanya—akan mengirim pesan kuat bahwa nama Waka Nga Mere bukan semboyan kosong.
Melibatkan masyarakat dalam proses pemulihan, seperti dialog terbuka dan kegiatan sosial bersama, dapat memperbaiki relasi yang rusak akibat tragedi ini.
Penutup: Antara Simbol dan Realitas
Tragedi Prada Lucky adalah ujian besar bagi Yonif 834/BTP Waka Nga Mere.
Ia menyingkap jurang antara simbol dan realitas, antara janji nama dan perilaku di lapangan. Jalan pemulihannya memang panjang, tetapi tidak mustahil.
Kuncinya ada pada keberanian institusi untuk mengakui kesalahan, menghukum pelaku, melindungi korban, dan membangun kembali budaya yang selaras dengan nilai-nilai luhur yang diusung.
Bila ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka nama Waka Nga Mere bisa kembali berarti: bukan sekadar tulisan di papan markas, tetapi pancaran nyata dari wibawa, martabat, dan kegagahan yang hidup dalam setiap sanubari prajuritnya. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.