Opini
Opini: Tragedi Prada Lucky, Cermin Kekerasan di Barak Militer
Kekerasan dalam tubuh militer acap kali dibenarkan secara informal melalui narasi "pembinaan karakter" atau "tradisi satuan."
Oleh: Pascal S Bin Saju
Wartawan senior, tinggal di Jakarta
POS-KUPANG.COM - Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo pada Rabu, 6 Agustus 2025, setelah perawatan intensif di RSUD Aeramo, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar insiden tragis.
Ia merupakan gejala akut dari kultur kekerasan yang menggerogoti institusi militer Indonesia. Kami turut berduka cita atas meninggalnya prajurit muda ini.
Prada Lucky, prajurit berusia 23 tahun yang belum lama bertugas aktif, tewas diduga akibat penganiayaan seniornya di Asrama Teritorial Pembangunan 834 Wakanga Mere.
Ia bertugas di bawah Batalyon Infanteri (Yonif) 743/PSY, Kodam IX/Udayana — satuan tempur strategis di kawasan timur Indonesia yang beroperasi di wilayah dengan tantangan keamanan kompleks, mulai dari perbatasan hingga potensi konflik horizontal.
Ironisnya, ancaman fatal justru muncul dari dalam barak militer: lingkungan yang seharusnya menjadi ruang pembinaan dan perlindungan.
Hingga tulisan ini disusun, Mabes TNI belum merilis pernyataan resmi terperinci.
Namun, indikasi kuat mengarah pada praktik kekerasan senior terhadap junior — fenomena sistemik yang kerap diselimuti keheningan.
Kekerasan dalam tubuh militer acap kali dibenarkan secara informal melalui narasi "pembinaan karakter" atau "tradisi satuan."
Praktik ini mereproduksi kekerasan struktural yang bertahan meski bertentangan dengan kerangka hukum formal.
Kultur senioritas ekstrem, minimnya pengawasan psikologis berkelanjutan, dan absennya mekanisme pelaporan yang aman bagi korban menciptakan ekosistem kekerasan laten.
Ritual informal seperti "pembaptisan" atau "ujian mental" bagi prajurit baru di beberapa satuan rentan berujung pada kekerasan fisik dan psikis.
Secara normatif, TNI memiliki landasan hukum tegas yang melarang kekerasan non-disipliner.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjamin ketaatan institusi pada hukum dan hak asasi manusia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) juga mengatur sanksi pidana untuk pelanggaran disiplin. Namun, implementasi aturan ini kerap terkendala.
Sanksi terhadap pelaku kekerasan internal sering kali tidak proporsional atau ditutupi demi menjaga reputasi kesatuan.
Dalam kasus Lucky, bila terbukti terjadi penganiayaan berujung kematian, pelaku berpotensi dijerat Pasal 131 KUHPM atau Pasal 338 KUHP (pembunuhan) dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 44 Tahun 2015 juga mungkin diterapkan.
Namun, fokus semata pada penghukuman pelaku tanpa menyentuh akar masalah bersifat temporer.
Kasus ini harus menjadi katalis evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan prajurit — termasuk akuntabilitas komando dan mekanisme pengawasan yang gagal.
Proses rekrutmen TNI memang telah dimodernisasi dengan tes psikologi dan wawancara kepribadian.
Sayangnya, aspek pengembangan psikologis kerap terabaikan saat prajurit memasuki lingkungan barak.
Prajurit seperti Lucky—umumnya lulusan SMA dari kalangan menengah-bawah—direkrut dengan semangat pengabdian, namun dihadapkan pada struktur yang mengukur loyalitas melalui ketahanan terhadap kekerasan.
Pembinaan prajurit semestinya bertumpu pada pendekatan humanis berbasis character building. Transformasi mendesak diperlukan melalui:
- Kebijakan toleransi nol terhadap kekerasan (zero tolerance for abuse).
- Integrasi pelatihan kepemimpinan non-kekerasan dalam kurikulum.
- Pemanfaatan psikolog militer secara proaktif untuk memantau dinamika satuan.
Kematian Prada Lucky harus menjadi titik balik. Kultur kekerasan yang dipelihara bukan warisan heroik, melainkan aib yang menggerus kredibilitas institusi.
Jika reformasi pasca-Orde Baru berhasil menarik TNI dari politik praktis, kini diperlukan reformasi gelombang kedua yang berfokus pada dekonstruksi struktur kekerasan, penguatan akuntabilitas vertikal-horizontal, dan sistem penghargaan berbasis profesionalisme—bukan senioritas semata.
TNI adalah institusi kehormatan. Prajurit muda seharusnya berkesempatan tumbuh menjadi garda pertahanan bangsa, bukan menemui ajal di tangan rekan sekesatuan.
Langkah Polisi Militer TNI yang menyelidiki tuntas kasus ini patut diapresiasi, sebagaimana desakan anggota DPR kepada Panglima TNI untuk memastikan proses hukum berjalan. Tragedi di Nagekeo harus menjadi momentum perbaikan mendasar. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.