Opini

Opini: Tragedi Prada Lucky, Cermin Kekerasan di Barak Militer

Kekerasan dalam tubuh militer acap kali dibenarkan secara informal melalui narasi "pembinaan karakter" atau "tradisi satuan." 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI PASCAL S BIN SAJU
Pascal S Bin Saju 

Sanksi terhadap pelaku kekerasan internal sering kali tidak proporsional atau ditutupi demi menjaga reputasi kesatuan.  

Dalam kasus Lucky, bila terbukti terjadi penganiayaan berujung kematian, pelaku berpotensi dijerat Pasal 131 KUHPM atau Pasal 338 KUHP (pembunuhan) dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. 

Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 44 Tahun 2015 juga mungkin diterapkan. 

Namun, fokus semata pada penghukuman pelaku tanpa menyentuh akar masalah bersifat temporer. 

Kasus ini harus menjadi katalis evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan prajurit — termasuk akuntabilitas komando dan mekanisme pengawasan yang gagal.  

Proses rekrutmen TNI memang telah dimodernisasi dengan tes psikologi dan wawancara kepribadian. 

Sayangnya, aspek pengembangan psikologis kerap terabaikan saat prajurit memasuki lingkungan barak. 

Prajurit seperti Lucky—umumnya lulusan SMA dari kalangan menengah-bawah—direkrut dengan semangat pengabdian, namun dihadapkan pada struktur yang mengukur loyalitas melalui ketahanan terhadap kekerasan.  

Pembinaan prajurit semestinya bertumpu pada pendekatan humanis berbasis character building. Transformasi mendesak diperlukan melalui:  

  1. Kebijakan toleransi nol terhadap kekerasan (zero tolerance for abuse).
  2. Integrasi pelatihan kepemimpinan non-kekerasan dalam kurikulum.  
  3. Pemanfaatan psikolog militer secara proaktif untuk memantau dinamika satuan.  

Kematian Prada Lucky harus menjadi titik balik. Kultur kekerasan yang dipelihara bukan warisan heroik, melainkan aib yang menggerus kredibilitas institusi. 

Jika reformasi pasca-Orde Baru berhasil menarik TNI dari politik praktis, kini diperlukan reformasi gelombang kedua yang berfokus pada dekonstruksi struktur kekerasan, penguatan akuntabilitas vertikal-horizontal, dan sistem penghargaan berbasis profesionalisme—bukan senioritas semata.  

TNI adalah institusi kehormatan. Prajurit muda seharusnya berkesempatan tumbuh menjadi garda pertahanan bangsa, bukan menemui ajal di tangan rekan sekesatuan. 

Langkah Polisi Militer TNI yang menyelidiki tuntas kasus ini patut diapresiasi, sebagaimana desakan anggota DPR kepada Panglima TNI untuk memastikan proses hukum berjalan. Tragedi di Nagekeo harus menjadi momentum perbaikan mendasar. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved