Opini
Opini: Temuan BPK 2024, Alarm Sistemik Korupsi Struktural Indonesia
Temuan ini menjadi cermin buram kondisi tata kelola yang menuntut perhatian serius dari seluruh stakeholder.
Kelemahan Sistem Pengendalian Internal: Infrastruktur Korupsi
Data menunjukkan 42,7 persen permasalahan (7.055 kasus) berasal dari kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI).
Dari kelemahan ini lahir kerugian negara Rp3,98 triliun, potensi kerugian Rp1,69 triliun, dan kekurangan penerimaan Rp5,42 triliun.
SPI yang lemah adalah infrastruktur yang mendukung terjadinya korupsi sistemik.
Sistem pengendalian internal yang rapuh menciptakan kondisi di mana penyimpangan mudah terjadi dan sulit terdeteksi.
Tanpa mekanisme check and balance yang efektif, pintu korupsi terbuka lebar.
Ini menjelaskan mengapa kasus korupsi terus bermunculan meski penegakan hukum terus diintensifkan. Hal ini dapat terjadi karena sistemnya memang bermasalah.
Pemerintah Daerah: Epicentrum Korupsi Struktural
Fakta paling mengejutkan adalah konsentrasi permasalahan di level pemerintah daerah yang mencapai 13.383 kasus (81 persen dari total) dengan nilai Rp3,567 triliun.
Data ini mengkonfirmasi bahwa otonomi daerah yang digulirkan sejak era reformasi belum dibarengi dengan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang memadai.
Ironisnya, pemerintah daerah yang seharusnya lebih dekat dan responsif terhadap kebutuhan rakyat justru menjadi tempat terkonsentrasinya pelanggaran.
Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi kewenangan tanpa disertai penguatan system kontrol telah menciptakan "surga korupsi" di daerah.
Kepala daerah dan jajarannya seringkali merasa memiliki keleluasaan berlebihan tanpa pengawasan yang ketat.
Paradoks Pemberantasan vs Pencegahan Korupsi
Temuan BPK ini muncul di tengah intensifnya upaya pemberantasan korupsi oleh KPK, Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.