Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 27 Juli 2025: Menjadi Pengemis di Hadapan Tuhan

Kita diajak mengetuk terus, meski belum dibukakan; untuk meminta terus, meski belum dijawab; untuk berharap terus, meski belum tampak jalan. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK ROMO LEO MALI
Romo Leo Mali 

Oleh: RD. Leo Mali
Rohaniwan dan Dosen  pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Di hadapan Tuhan, Abraham berdiri sendirian. Ia tidak berdiri sebagai raja yang gagah atau nabi yang penuh kuasa. 

Ia berdiri sebagai seorang pengemis dengan menadahkan tangan, mengulurkan harapan, mengajukan permohonan, memohon ampun bagi kota yang tak tahu berterima kasih: Sodom dan Gomora. 

Serentetan permohonan ia kemukakan: “Tuhan,” katanya, “bagaimana jika ada lima puluh orang benar? Empat puluh lima? Empat puluh? Tiga puluh? Dua puluh? Sepuluh? 

Abraham tahu bahwa di hadapan Tuhan, dia hanya abu dan debu. Tapi ia tidak menyerah. Ia berani meminta, karena ia percaya pada kemurahan hati Allah. 

Allah, yang hatinya tergerak oleh permohonan itu, akhirnya berkata, “Demi sepuluh orang benar, Aku tidak akan memusnahkannya.” (bdk. Kej. 18:20–32). 

Sikap Abraham adalah sikap iman yang mendalam—iman seorang pengemis di hadapan Sang Sumber Segala. Ia tak memiliki apa-apa, hanya kerendahan hati dan harapan kepada Allah. 

Ia tahu bahwa pengampunan dan keselamatan bukan hasil prestasi, melainkan buah dari kemurahan Tuhan yang setia pada kasih-Nya. 

Seperti seorang pengemis yang menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain, demikian pula Abraham menggantungkan harapan umat manusia hanya pada belas kasih Allah. 

Yesus mewariskan sikap ini kepada para murid-Nya. Ketika mereka meminta- Nya mengajar berdoa, Yesus tidak mengajarkan teknik atau formula rumit. 

Ia mengajar mereka untuk mengetuk, mencari, dan meminta dengan hati penuh keyakinan, seperti pengemis yang tidak lelah berharap: “Mintalah, maka kamu akan diberi; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Luk. 11:9). 

Doa bukan sekadar kata-kata, tetapi keintiman seorang anak yang miskin di hadapan Bapa yang kaya dalam kasih. Yesus sendiri, Anak Allah yang turun ke dunia, menjelma sebagai pengemis bagi hati manusia. 

Ia berdiri di ambang pintu setiap jiwa, mengetuk perlahan, menanti dibukakan. Ia tidak memaksa. Ia memohon. Dari kayu salib, di puncak penderitaan-Nya, Ia tidak menuntut balas, melainkan menawarkan pengampunan. 

Ia mengemis perhatian, cinta, dan pertobatan kita. Dalam kasih-Nya, Tuhan tidak pernah memaksakan kehendak. Ia menanti. Ia mengetuk. Ia mengemis hati manusia. 

Rasul Paulus, dari balik jeruji penjara di Roma, menyaksikan cinta Allah yang demikian dahsyat. Ia menulis kepada jemaat di Kolose bahwa dalam Kristus, Allah telah “menghapus surat hutang yang mengancam kita” dan meniadakannya di atas salib. (Kol. 2:14). 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved