Opini
Opini: Ketika Pengumuman Bupati Membatalkan Nasib dan Menabrak Tembok Hukum
Ia harus tunduk pada serangkaian aturan main yang ketat, yang dirancang untuk melindungi warga negara.
Oleh : Greg Retas Daeng
Advokat HAM dan Direktur Advokasi Padma Indonesia
POS-KUPANG.COM - Di tengah ketatnya persaingan mencari kerja, pengumuman kelulusan sebagai Calon Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebuah oase.
Ia adalah kulminasi dari perjuangan panjang, malam-malam tanpa tidur untuk belajar, dan harapan besar untuk mengabdi pada negeri serta meraih masa depan yang lebih terjamin.
Bayangkan euforia yang dirasakan oleh 26 tenaga kesehatan di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, ketika nama mereka terpampang sebagai peserta yang lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) formasi tahun 2024. Namun, kebahagiaan itu direnggut begitu saja.
Beberapa pekan lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juli 2025, publik Nagekeo hingga nasional dihebohkan dengan sebuah dokumen dingin dan formal yang datang dari pucuk pimpinan kabupaten.
Melalui Pengumuman Nomor: 800.1.2.2/ΒΚΡΡ/2501/VII/2025 , Bupati Nagekeo secara resmi membatalkan kelulusan ke-26 orang tersebut.
Konsekuensinya fatal: nama mereka dinyatakan dikeluarkan dari database kelulusan PPPK. Seketika, harapan berubah menjadi kecemasan, dan kepastian hukum luluh lantak oleh selembar kertas.
Kejadian ini lebih dari sekadar drama personal; ia adalah sebuah studi kasus yang mempertontonkan bagaimana kekuasaan administrasi dapat berbenturan dengan hak-hak fundamental warga negara.
Jika kita menelaahnya dari kacamata hukum, kita akan menemukan bahwa di balik kesederhanaan formatnya, “pengumuman” ini adalah sebuah tindakan hukum kompleks yang sarat dengan potensi kecacatan dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum.
Kekuatan Hukum di Balik Pengumuman
Mungkin di antara kita ada yang beranggapan, bahwa ini hanya pengumuman, bukan surat keputusan. Anggapan ini keliru secara fundamental. Dalam semesta Hukum Administrasi Negara, substansi mengalahkan bentuk.
Sebuah tindakan pemerintah tidak dinilai dari judulnya, melainkan dari isinya.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) mendefinisikan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai penetapan tertulis yang bersifat individual, konkret, dan final yang menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan definisi yang ada, mari kita uji unsur-unsur dari Pengumuman Bupati Nagekeo tersebut: (1) apakah Tertulis? Ya, dalam bentuk surat resmi ; (2) apakah Individual? Ya, ia menyebutkan 26 nama secara spesifik, mulai dari Maria Beatrix Keo hingga Martina Miu;
(3) apakah Konkret? Ya, objeknya sangat jelas: Pembatalan Kelulusan ; (4) dan apakah Final dan Berakibat Hukum? Ya, ia secara langsung mencabut status lulus dan hak para peserta untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.
Dengan terpenuhinya semua unsur tersebut, maka pengumuman ini secara hukum adalah sebuah KTUN. Status ini penting, karena ia tidak bisa dikeluarkan secara sembarangan.
Ia harus tunduk pada serangkaian aturan main yang ketat, yang dirancang untuk melindungi warga negara.
Pakar hukum administrasi terkemuka, Philipus M. Hadjon, dalam opus magnum-nya "Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia", berulang kali menekankan bahwa hukum administrasi hadir bukan untuk melayani kekuasaan, melainkan untuk menjadi perisai bagi rakyat dari potensi kesewenang-wenangan pemerintah. Kasus Nagekeo adalah ujian nyata bagi prinsip luhur ini.
Menabrak Tembok Hukum Administrasi: Analisis Pelanggaran
Sebagai sebuah KTUN, pengumuman tersebut wajib memenuhi syarat sahnya keputusan sebagaimana diatur dalam UUAP.
Sayangnya, dokumen ini justru memperlihatkan potensi pelanggaran yang sangat serius terhadap beberapa pasal dan asas krusial.
Sebagai Bupati yang adalah seorang mantan hakim (Penegak hukum) harusnya melek dengan logika hukum dasar semacam ini.
Pertama, Pelanggaran Asas Motivasi. Setiap keputusan pejabat negara yang berdampak pada nasib seseorang wajib memiliki alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini bukan sekadar etika, tetapi perintah undang-undang.
Pasal 52 ayat (1) dan (2) jo Pasal 55 Ayat (1) UUAP yang secara tersirat menyatakan bahwa alasan yang digunakan harus jelas, faktual, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengumuman Bupati Nagekeo gagal total memenuhi syarat ini. Ia hanya berlindung di balik frasa bahwa pembatalan dilakukan berdasarkan "surat kepala UPTD Puskesmas Kota...Perihal Permohonan Pembatalan" dan "surat...Perihal Bukti Dukung Pembatalan".
Ini adalah pemindahan tanggung jawab, bukan penjelasan! Apa kesalahan faktual yang dilakukan ke-26 peserta? Apa isi dari "bukti dukung" tersebut?
Apakah bukti itu sudah teruji kebenarannya? Pengumuman itu bungkam. Dengan menyembunyikan alasan substantif, keputusan ini menjadi gelap, terkesan arbitrer, dan secara terang-terangan melanggar kewajiban transparansi yang diamanatkan UUAP.
Kedua, Kepastian Hukum yang Tercabik: Pelanggaran Asas Kepastian Hukum. Warga negara menaati hukum dengan ekspektasi bahwa negara juga akan konsisten dengan aturannya sendiri.
Hasil seleksi yang telah melewati tahap "Pasca Sanggah" seharusnya menjadi sebuah kepastian.
Tahap sanggah adalah mekanisme final untuk verifikasi dan koreksi. Membatalkan hasil yang sudah final ini sama saja dengan menarik permadani dari bawah kaki para peserta.
Tindakan ini secara langsung menabrak Asas Kepastian Hukum, salah satu dari sepuluh asas yang wajib diterapkan pejabat pemerintah menurut Pasal 10m UUAP.
Jika hasil akhir sebuah seleksi nasional yang melibatkan nasib banyak orang bisa dianulir hanya berdasarkan "permohonan" dari unit lain, lantas apa lagi yang bisa dipercaya dari proses rekrutmen negara?
Ini menciptakan preseden buruk yang merusak kepercayaan publik secara masif, terutama di Nagekeo.
Ketiga, Divonis Tanpa Pembelaan: Pelanggaran Asas Keadilan dan Hak untuk Didengar. Inilah pelanggaran yang paling mencederai rasa keadilan.
Prinsip audi et alteram partem (dengarkan juga pihak lain) adalah pilar peradaban hukum.
Tak seorang pun boleh dirugikan haknya tanpa diberi kesempatan untuk didengar, membela diri, atau memberikan klarifikasi.
Dokumen pengumuman tersebut sama sekali tidak memberi petunjuk bahwa ke-26 peserta ini pernah dipanggil, diinterogasi, atau setidaknya dikonfrontasi dengan "bukti dukung" yang menjadi dasar pembatalan nasib mereka.
Prosesnya terkesan berjalan di ruang gelap (ada surat masuk, lalu terbitlah surat keputusan pembatalan).
Ini adalah sebuah vonis tanpa pengadilan, sebuah tindakan yang bertentangan dengan asas keadilan dan kepatutan yang juga menjadi roh dari UUAP.
Seandainya mereka diberi kesempatan, mungkin ada penjelasan logis atas tuduhan yang ada. Mungkin hanya terjadi kesalahpahaman administrasi. Namun, kesempatan emas itu tidak pernah diberikan.
Keempat, Potensi Penyalahgunaan Wewenang. Kombinasi antara ketiadaan alasan yang jelas dan proses yang tertutup membuka pintu bagi dugaan adanya Asas Larangan Penyalahgunaan Wewenang yang dilanggar.
Asas ini tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e UUAP, yang mana melarang pejabat menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain di luar tujuan yang seharusnya.
Kewenangan untuk membatalkan kelulusan seharusnya menjadi pilihan terakhir (ultimum remedium) untuk memperbaiki kesalahan fatal yang nyata dan terbukti, bukan untuk mengakomodasi "permohonan" yang tidak jelas asal-usul dan substansinya.
Jalan Menuju Keadilan
Tindakan Bupati Nagekeo bukanlah akhir dari cerita. Ia adalah awal dari perjuangan hukum bagi mereka yang haknya terlanggar.
Pasal 53 UU Peradilan TUN secara gamblang memberikan jalan bagi warga negara untuk menggugat keputusan pejabat yang merugikan.
Alasan gugatan dalam kasus ini sangat kuat: keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UUAP) dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Lebih dari itu, kasus ini harus menjadi alarm keras bagi seluruh penyelenggara negara di Indonesia.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) perlu melakukan evaluasi mendalam untuk memastikan preseden buruk ini tidak terulang di daerah lain.
Reformasi birokrasi yang didengungkan selama ini bertujuan membangun sistem meritokrasi yang objektif, bukan sistem yang bisa diintervensi oleh surat-surat misterius.
Kekuasaan yang dipegang pejabat publik adalah amanat untuk melayani dengan adil, transparan, dan dapat diprediksi.
Ketika kekuasaan itu digunakan untuk merampas hak warga negara secara sepihak dan tanpa alasan yang jelas, maka ia telah kehilangan legitimasinya dan wajib untuk dikoreksi melalui jalur hukum yang bermartabat. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.