NTT Terkini
Pemerintah Harus Berani Evaluasi Semua BUMD di NTT
Provinsi NTT memiliki empat BUMD utama di bawah kendali Pemprov, yaitu Bank NTT (PT BPD NTT dengan sumber pendapatan dominan PAD.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dibentuk bukan semata untuk menjadi lembaga fiskal yang bertahan hidup melalui suntikan modal.
Lebih dari itu, BUMD adalah instrumen ekonomi strategis yang mendukung kemandirian daerah, memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD), mendorong pemerataan, dan menciptakan peluang kerja—khususnya di daerah yang punya potensi besar namun minim kemampuan inisiatif pasar, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pengamat Ekonomi Undana, Ricky Ekaputra Foeh, M.M. mengatakan, Provinsi NTT memiliki empat BUMD utama di bawah kendali Pemprov, yaitu Bank NTT (PT BPD NTT dengan sumber pendapatan dominan PAD.
Tantangannya kredit produktif belum tersalurkan optimal ke sektor agribisnis dan UMKM berbasis desa.
Baca juga: Pj Sekda Kota Kupang Ignasius R. Lega Tegaskan BUMD Dikelola Sesuai Aturan
Kedua, PT Flobamor yang bertugas mengelola aset strategis seperti pelabuhan dan SPBU serta mendukung pariwisata. Kekurangan utama perusahaan ini ada pada tata kelola lemah, kompetensi manajerial rendah, akuntabilitas minim.
Ketiga, PT Jamkrida NTT yang bertugas pada menjamin kredit bagi UMKM. Masih terbatas jangkauan dan rendah literasi layanan di kalangan pelaku usaha kecil.
Keempat, Kawasan Industri Bolok (KIB).
Seharusnya menjadi salah satu simpul penting penggerak ekonomi regional. Terletak strategis di dekat Pelabuhan Bolok dan jalur perdagangan internasional, kawasan ini punya keunggulan logistik yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia Timur.
Namun, hingga hari ini, yang tampak lebih dominan justru adalah potensi yang belum tergarap, bukan geliat industri yang hidup.
KIB punya peluang luar biasa. Ia bisa menjadi pusat hilirisasi komoditas unggulan NTT garam, sapi, rumput laut, dan energi terbarukan.
Dikatakan, kawasan ini juga punya fungsi strategis dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia. Sayangnya, semua itu masih sebatas wacana.
Baca juga: Kunjungi PT KIB, Penjabat Gubernur NTT Dorong Tingkatkan Investasi di NTT
Hingga kini, hanya sedikit perusahaan yang benar-benar beroperasi di KIB. Banyak lahan industri dibiarkan kosong, tak tergarap. Infrastruktur dasar seperti jalan akses, pasokan listrik industri, dan jaringan air bersih belum sepenuhnya memadai. Ini menjadi penghalang utama bagi investor untuk menanamkan modal secara serius.
Masalah terbesar dari KIB bukan sekadar fisik, tapi kelembagaan. Hingga kini belum tampak adanya grand design atau masterplan kawasan industri yang terstruktur. Kawasan ini belum memiliki spesialisasi atau klasterisasi industri yang jelas. Apakah akan difokuskan ke agroindustri, logistik, peternakan, atau energi terbarukan? Arah ini penting agar perencanaan dan investasi bisa berjalan terukur.
Di sisi lain, pengelolaan kawasan ini masih terkesan administratif, bukan profesional. Harus ada Badan Pengelola Kawasan Industri yang kuat, netral, dan bertanggung jawab langsung pada kepala daerah atau gubernur. Tanpa manajemen kawasan yang mumpuni, KIB akan terus terjebak dalam lingkaran stagnasi.
Salah satu ironi dari kawasan industri di daerah tertinggal adalah ketika ia tidak membawa manfaat langsung bagi warga lokal. Ini juga terjadi di Bolok. Banyak tenaga kerja justru didatangkan dari luar, karena alasan kompetensi dan keterampilan. Artinya, ada gap besar antara dunia industri dan kesiapan SDM lokal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.