Opini

Opini: Menolak Diskriminasi dengan Pendidikan Berperspektif Gender

Tindakan kekerasan pun terjadi dalam berbagai cara yang meliputi pelecehan seksual, bullying, hingga berujung pada kematian.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Gebrile Mikael Mareska Udu. 

Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu
Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

POS-KUPANG.COM - Kekerasan berbasis gender dalam bentuk apapun secara khusus terhadap perempuan kian hari kian meningkat. 

Ada beragam motif yang melatarbelakanginya mulai dari budaya patriarki yang mengakar kuat di dalam budaya tertentu atau kebiasaan pola pendidikan yang keliru baik di tengah keluarga maupun sekolah. 

Tindakan kekerasan pun terjadi dalam berbagai cara yang meliputi pelecehan seksual, bullying, hingga berujung pada kematian.

Laporan yang diluncurkan oleh perkumpulan lintas Jakarta Feminist (Jakarta Feminist), tren kekerasan terhadap perempuan lebih banyak dalam bentuk pembunuhan ( femisida).

Mereka mendata ada 209 kasus pembunuhan perempuan sepanjang tahun 2024.

Dari penelusuran terhadap 38 provinsi yang ada di wilayah kesatuan RI termasuk Nusa Tenggara Timur, ditemukan jumlah kasus pembunuhan terbanyak di Pulau Jawa yakni 42 persen. 

Kasus pembunuhan terhadap perempuan diidentifikasikan bermula dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran, serta anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang lemah. 

Kasus ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dan dipastikan lebih meningkat di tahun 2025 (Kompas 4/6/2025).

Ironisnya, tindakan diskriminasi terhadap perempuan terjadi di tempat yang sebenarnya menjadi ruang aman bagi perempuan untuk berekspresi misalnya di sekolah dan dalam keluarga. 

Tesis utamanya jelas bahwa perempuan sering diasosiasikan sebagai sosok yang lemah, cengeng, tidak bisa mandiri, dibandingkan dengan laki-laki. 

Oleh karena itu, penulis hendak menjelaskan bias gender yang terjadi di kedua tempat tersebut. 

Penulis melihat bahwa diskriminasi terhadap perempuan kerap dianggap biasa-biasa saja namun lambat laun berakibat fatal.

Ketidakadilan Gender di Rumah

Diskriminasi gender di lingkungan rumah tampak di dalam perlakuan yang berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki. 

Perbedaan tersebut didasarkan pada kodrat perempuan yakni untuk mengandung atau mempunyai anak. 

Perempuan dengan system reproduksi yang dimilikinya sering dianggap sebagai pribadi yang lemah. Berbeda dengan kodrat laki-laki yang dinilai perkasa dan berani. 

Oleh karena itu perempuan dilekatkan dengan peran sentral di rumah tangga seperti yang berurusan dengan penyediaan makanan, menjaga kebersihan rumah, bertanggung jawab atas pendidikan anak baik semasa bayi dalam kandungan maupun setelah dilahirkan.

Dalam hal pendidikan untuk anak perempuan, sadar atau tidak orang tua sering memposisikan anak perempuan untuk lebih aktif di dalam rumah. 

Berbagai macam pekerjaan rumah dibebankan kepada perempuan. Anak perempuan diajari memasak, mencuci, menyetrika, dan lain sebagainya. 

Didikan tersebut secara khusus tugas-tugas domestik itu sangat jarang diberikan kepada anak laki-laki. 

Ada kekhawatiran bahwa jika pekerjaan tersebut diberikan kepada anak laki-laki maka ia akan menjadi banci. 

Anak laki-laki lebih banyak diarahkan pada kegiatan yang bersifat kompetitif di luar rumah. 

Tak heran perbedaan perlakuan tersebut melahirkan stereotip atau perbedaan gender antara anak laki-laki dan perempuan.

Domestifikasi perempuan yang dominasi berperan di dalam rumah kemudian direkam oleh anak-anak secara khusus laki-laki meskipun orang tua tidak mengajarkannya. 

Mereka merekam perbedaan yang jelas tentang posisi antara laki-laki dan perempuan. 

Anak laki-laki beranggapan bahwa pribadi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. 

Sosok perempuan identik dengan ketergantungannya dengan laki-laki. Laki-laki memegang fungsi kontrol atas perempuan.

Kasus diskriminasi terhadap perempuan yang berujung pada kematian bisa ditengarai oleh faktor perbedaan perlakuan tersebut. 

Seorang anak laki-laki sudah ditanamkan dalam dirinya kedudukan yang superior atas perempuan. 

Setiap perkataan atau tindakan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap benar karena posisinya yang lebih tinggi daripada perempuan meskipun terkadang salah.

Dalam relasi antara perempuan dan laki-laki yang dituntut dari perempuan hanyalah sikap taat mengikuti perintah. 

Misalnya seorang anak laki-laki yang lahir dari latar belakang pembinaan orang tua seperti gambaran di atas, ketika berumah tangga cenderung menganggap istri itu rendah. 

Jangan heran istri kerap diatur sesuai keinginan suami. Jika melawan akan berujung pada kematian.

Bias Ketidakadilan Gender di Sekolah

Pola pendidikan yang diskriminatif di tengah keluarga antara laki-laki dan perempuan tak pelak merangsek masuk di lingkungan sekolah sebagai institusi formal. 

Pada umumnya para guru merasa telah memperlakukan semua murid dengan adil. 

Mereka tidak menyadari bahwa terkadang adanya diskriminasi terhadap perempuan. 

Misalnya, para guru tidak menyadari bahwa dalam pembelajaran di sekolah, anak laki-laki diperintahkan untuk mengerjakan soal-soal eksakta dibandingkan perempuan. 

Anak perempuan lebih banyak diperintahkan untuk mengerjakan tugas pelajaran Bahasa Indonesia atau diminta untuk menyanyi. 

Para guru dominan memilih anak-anak yang menunjukkan jari lebih awal Ketika diberi pertanyaan. 

Guru tidak menyadari bahwa anak yang diam, yang tidak menunjukkan jari boleh jadi anak yang pandai tetapi malu karena umumnya mereka anak perempuan.

Mereka kurang berani menyampaikan pendapat. Apalagi anak perempuan yang tidak diberikan kebebasan di rumah selalu patuh sehingga apabila diperintahkan mereka tidak berani untuk mengajukan diri.

Ketidakadilan gender dalam lingkungan sekolah biasa juga muncul di dalam perbedaan materi pelajaran ekstrakurikuler. 

Anak laki-laki kerap diberi pelajaran seni bela diri, taekwondo atau silat supaya memiliki bekal rasa percaya diri yang lebih besar dibandingkan perempuan. 

Sementara anak perempuan diberikan materi memasak atau menari karena nantinya bisa menjadi ibu rumah tangga.

Perbedaan-perbedaan tersebut berpeluang menciptakan fenomena ketidakadilan gender yang akan berakibat fatal. 

Anak-anak yang merasakan perlakuan yang berbeda di antara mereka yang pada akhirnya membentuk pemahaman mereka akan kedudukan satu sama lain. Perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki.

Pendidikan Berperspektif Gender

Diskriminasi terhadap perempuan merupakan konsekuensi gender yang telah
berkembang di rumah dan sekolah. 

Sejatinya ketidakadilan gender bisa berubah menuju keadilan sesuai dengan normatifnya dimana kedua jenis kelamin itu sebagai satu kesatuan sumber daya manusia yang sama. 

Seyogianya perempuan tidak hanya dipandang sebagai isteri/ibu tetapi juga sebagai sumber daya pembangunan. 

Keadilan gender tidak berarti perempuan dan laki-laki harus sama tetapi setidaknya keduanya memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan termasuk pengambilan keputusan.

Pandangan bahwa perempuan sebagai salah satu sumber daya yang potensial diharapkan dapat mengurangi tindak kekerasan yang banyak terjadi pada perempuan.

Keadilan gender dapat diwujudnyatakan lewat pendidikan baik dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. 

Pendidikan berperspektif gender di tengah keluarga diwujudnyatakan lewat tanggung jawab yang sama diberikan kepada anak laki-laki maupun perempuan. 

Pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan laki-laki seperti membantu ayah, menyampaikan pendapat sepatutnya diberikan juga kepada anak perempuan.

Sebaliknya, anak laki-laki dibiasakan dengan pekerjaan yang sifatnya domestik seperti menyapu, mencuci dan memasak. 

Tidak adanya perbedaan perlakuan oleh orang tua, akan membuat anak-anak lebih bertanggung jawab kepada dirinya dan orang lain. 

Dengan begitu kecenderungan untuk melakukan kekerasan terhadap satu sama lain bisa diminimalisasi. Masing-masing pribadi memiliki kesadaran bahwa semua orang menempati posisi yang sama dan saling melengkapi.

Pendidikan berperspektif gender juga bisa dilakukan di lingkungan sekolah. Para guru kiranya tidak menciptakan perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. 

Tidak boleh ada pertimbangan mana yang pantas dilakukan oleh laki-laki dan mana yang perempuan. 

Para guru hendaknya dengan bijaksana tidak terpaku dengan anjuran kurikulum yang terkadang memisahkan peran laki-laki dan perempuan. 

Para guru sekiranya membuka ruang seluas-luasnya kepada setiap pribadi. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved