Opini
Opini: Ricky dan Alma, Oebelo dan Atambua
Saat itu, “aku” dalam puisinya bukanlah persona lain, sebagaimana para tokoh dalam puisi-puisinya di buku Lalu Kau Menulis Atambua.
Di undangan cetak pernikahannya, ia mengutip lengkap puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono.
Di undangan digitalnya, ia mengutip bait pertama puisinya sendiri, berjudul “A, A, A”, salah satu puisi dalam buku Lalu Kau Menulis Atambua, puisi yang menurut saya ia tulis bagi Alma, istrinya. Versi lengkapnya:
A, A, A
Rindu untukmu terbuat dari dua jalur Nenuk,
pohon-pohon jati,
oto yang kencang,
dua remaja lopas sore,
kepergian dan kepulangan
—Tubuhmukah kota yang selama ini kutuju?
Akan kucium lagi aroma
pasar ikan ketika
nanti hatimu terbuka
dan kita saling tawar-menawar
berapa harga masa depan
ketika rindu adalah kegentaran
yang basah dan pelan
pelan tumbuh dalam
doamu?
Kabel-kabel yang bertumpuk
dalam kepalamu mencoba
menyalakan harapan
dalam iklan di tv atau pidato
calon presiden
tapi selalu gagal memadamkan
kegelisahanmu di depan waktu
yang mulai memutih di rambut pendekmu
apa itu waktu ketika
rindu
seperti hujan yang jatuh
di kebun petani?
Ia membayangkan cinta tumbuh
menghijau
dan kepada anak cucu ia bercerita
kita bisa hidup karena harapan, semata harapan,
selebihnya mati.
Meskipun puisi tersebut saya anggap ditujukan untuk Alma, sebagaimana juga ditunjukkan dalam penggunaannya sebagai bagian dari video ringkas prosesi pernikahan, tokoh-tokoh dalam puisi tersebut tidak mesti mewakili sang penyair dan istrinya.
“Urusan penyair” tulis T.S. Eliot dalam salah satu esai terkenalnya, “Tradition and Individual Talent”, “bukanlah untuk menemukan emosi baru, melainkan untuk menggunakan emosi-emosi biasa dan, dengan mengolahnya menjadi puisi, mengungkapkan perasaan-perasaan yang sama sekali bukan emosi yang sesungguhnya. Dan emosi-emosi yang belum pernah dialaminya akan berguna baginya, sama seperti emosi-emosi yang sudah dikenalnya.”
Eliot pun melanjutkan penekanannya pada pentingnya seorang penyair berjarak dari pengalamannya, dari emosi-emosi pribadinya, agar lebih objektif menulis puisinya.
Kepribadian dan emosi pribadi adalah objek berharga, yang perlu dipadukan dengan tradisi dan khazanah, sebagaimana ditekankan Eliot di bagian lain dari esai tersebut.
Seorang “penyair tradisional” yang memiliki kepekaan historis, berdiri di atas jalinan tradisi dan khazanah para pendahulunya.
Pengambilan jarak penting, karena itu Eliot mengingatkan bahwa puisi bukanlah pelepasan emosi, melainkan pelarian dari emosi; puisi bukanlah ekspresi kepribadian, melainkan pelarian dari kepribadian.
Namun pelarian tersebut mengandaikan bahwa si penyair memiliki kepribadian dan emosi autentik, untuk bisa memahami apa artinya ingin melarikan diri dari hal-hal tersebut.
Keberjarakan dari kepribadian dan emosi personal adalah keberjarakan yang dekat.
Keberjarakan internal. Itulah yang secara tepat ditunjukkan Ricky Ulu dalam buku puisi Lalu Kau Menulis Atambua.
Pengalaman sehari-hari penyair di kota kecil tempat tinggalnya, tempat ia mengajar dan berproses menulis, dituangkan ke dalam puisi-puisi untuk menjadi bagian dari pengalaman para pembaca puisi-puisinya.
Pembaca diajak bertualang di antara kejutan-kejutan diksi Melayu-Timor yang ia sisipkan di antara keketatan diksi Bahasa Indonesianya, sebagai ayunan antara bahasa formal pendidikan dengan bahasa pergaulan sehari-hari, sebagaimana pembaca dibawa melintasi kalimat-kalimat bahasa Indonesia berstruktur Melayu-Timor yang diletakkan secara wajar di antara alusi dan metafora.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.