Sosok dan Profil

Kisah Inspiratif Api Linome, Bocah yang Bermimpi Jadi Polisi Tapi Kandas di Tengah Jalan

Saban hari Api Linome berjibaku di antara deretan pedagang dan tumpukan barang di Pasar Inpres Naikoten Kota Kupang.

|
Editor: Edi Hayong
POS-KUPANG. COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
SOSOK API LINOME- Sosok bocah Api Linome (12) saat mengamati para pengunjung pasar yang selesai belanja untuk menawarkan jasa angkat barang di Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang 

Dari pukul 07.00  pagi WITA hingga tengah malam, ia bekerja tanpa pilih-pilih barang karung cabai, beras, hingga barang belanja para pembeli, semua ia angkut demi Rp50 ribu sehari.

Baca juga: Kisah Inspiratif, Shana Fatina Sediakan Air Bersih Bagi Warga di Pesisir Manggarai Barat NTT

Uang yang digunakan untuk kebutuhan pribadinya, dan sedikit ia sisihkan untuk neneknya Unu, yang buta dan tinggal di Ayotupas.

“Capek, tapi saya harus punya uang, supaya bisa tabung. Uangnya nanti kalau sudah besar mau jadi pedagang saja,” ucapnya.

Mimpinya jadi polisi telah pupus, berganti dengan harapan sederhana berdagang sayur agar tak harus capek mengangkat barang terus-menerus.

Di pasar, Api tidak sendiri. Ia bersahabat dengan Steven, bocah seusianya yang juga putus sekolah dan bekerja sebagai kuli pasar.

Keduanya sering tidur di sudut pasar pada malam hari, beralaskan karung bekas, menunggu matahari esok untuk kembali bekerja. 

“Kalau hari Sabtu dan Minggu, itu ramai. Kami kerja terus. Kalau lapar, baru pulang atau beli makan dari uang yang ada,” ujarnya.

Baca juga: Sosok Asnat Pindu Jawa, Sarjana Peternakan Politani Kupang yang Memilih Jalur Berbeda

Meski keras, Api tak pernah mengeluh. Hidup membuatnya belajar dewasa terlalu cepat.

Ia tak pernah berkomunikasi lagi dengan orang tuanya, hanya nenek Unu  yang menjadi tempatnya pulang.

Sementara itu  ongkos dari Kupang ke Ayotupas, Rp100.000 pulang pergi. 

"Kalau sudah kumpul uang, saya pulang jenguk Unu,” katanya.

Api sempat bersekolah di Kupang hingga kelas satu SD, namun keterbatasan biaya dan situasi keluarga membuatnya harus berhenti.

Ia lalu kembali ke kampung, mencoba melanjutkan, tapi lagi-lagi harus berhenti karena tidak ada biaya dan perceraian orang tuanya.

Kini, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali membuka buku.

Baca juga: Sosok Sr. Marieta Ose Melburan, SSpS, Biarawati Katolik yang Berkarya untuk Penyandang Disabilitas

“Kadang rindu sekolah,” ujarnya lirih, “tapi sekarang saya kerja saja.”

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved