Opini

Opini: Kepemimpinan Berbasis Kasih, Menenun Sekolah dari Nilai Kekerabatan Sabu

Setiap individu bertindak dalam kesadaran bahwa ia terhubung dengan yang lain. Tidak ada pemimpin tanpa rakyat, dan tidak ada rakyat tanpa pemimpin.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Heryon Bernard Mbuik 

Kata orang Sabu: “Eda ngara heda ledo, awu rae lou kene” (Jangan berjalan sendiri dalam gelap, bawalah terang bersama yang lain). 

Inilah filosofi dasar dari kepemimpinan kolaboratif dalam kekerabatan sabu: selalu bersama, tidak ada yang ditinggal.

Menenun Pendidikan Seperti Menenun Tenun Sabu

Seni tenun sabu bukan hanya aktivitas budaya, tapi metafora tentang kepemimpinan dan pendidikan. Menenun membutuhkan:

  • Kesabaran (karena hasil tak langsung terlihat)
  • Ketekunan (karena proses tak boleh tergesa)
  • Keterhubungan benang demi benang (karena hasil hanya indah jika semua terhubung dengan rapi).

Begitu pula dengan sekolah. Pemimpin sekolah tidak bisa membangun mutu hanya dengan menyusun program dan memberi perintah. 

Ia harus membangun hubungan, memperhatikan emosi guru, memahami latar belakang siswa, dan merawat kepercayaan publik.

Penelitian oleh Leithwood et al. (2019) menegaskan bahwa kepemimpinan relasional meningkatkan kesejahteraan psikologis guru dan meningkatkan retensi tenaga pendidik, terutama di sekolah-sekolah yang menghadapi keterbatasan geografis dan ekonomi. 

Artinya, di tempat seperti Sabu, pemimpin yang memperhatikan relasi akan lebih mampu menjaga stabilitas sekolah.

Menghindari Model Kepemimpinan Individualistik

Model kepemimpinan tunggal yang kaku dan hirarkis sebenarnya tidak selaras dengan budaya timur seperti Sabu. 

Masyarakat Sabu tidak mengenal pemimpin yang berjalan sendiri. Semua keputusan besar selalu didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan kolektif. 

Maka, kepala sekolah yang memaksakan kehendak tanpa mendengar guru, atau yang bersikap eksklusif tanpa melibatkan masyarakat, sejatinya menyalahi roh budaya tempat ia memimpin.

Dalam relasi kekerabatan, otoritas tumbuh dari pengakuan, bukan paksaan. Oleh karena itu, pemimpin yang berakar dalam budaya sabu tidak akan menggunakan kekuasaan sebagai alat tekan, tetapi sebagai kesempatan melayani.

Penutup: Kepala Sekolah Sebagai Penenun Relasi

Kepemimpinan sekolah di Sabu dan wilayah NTT pada umumnya harus kembali ke nilai-nilai dasar: kasih, relasi, dan pelayanan. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved