Opini

Opini: Kepemimpinan Berbasis Kasih, Menenun Sekolah dari Nilai Kekerabatan Sabu

Setiap individu bertindak dalam kesadaran bahwa ia terhubung dengan yang lain. Tidak ada pemimpin tanpa rakyat, dan tidak ada rakyat tanpa pemimpin.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Heryon Bernard Mbuik 

Oleh: Heryon Bernard Mbuik, M.Pd
Dosen PGSD FKIP Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM  - Di tengah tuntutan manajemen pendidikan yang semakin kompleks, kita sering lupa bahwa sekolah sejatinya bukan hanya lembaga administratif, tetapi komunitas kasih. 

Sekolah adalah tempat perjumpaan antarmanusia yang membutuhkan relasi, kepercayaan, dan kebersamaan. 

Nilai-nilai inilah yang justru sangat kuat ditemukan dalam struktur sosial masyarakat Sabu Raijua sebuah masyarakat kepulauan di Nusa Tenggara Timur yang menjunjung tinggi kekerabatan, gotong royong, dan penghormatan terhadap relasi sosial.

Kini saatnya kita melihat kembali: Bisakah nilai kekerabatan lokal menjadi fondasi model kepemimpinan sekolah?

Jawabannya: tidak hanya bisa, tapi seharusnya memang demikian.

Sekolah Bukan Pabrik Tapi Keluarga

Model kepemimpinan yang paling relevan dengan masyarakat seperti Sabu adalah kepemimpinan berbasis kasih dan relasi. 

Dalam dunia teori, model ini sejalan dengan relational leadership dan distributed leadership kepemimpinan yang tidak berpusat pada satu figur saja, tetapi tumbuh dari relasi, kolaborasi, dan pemberdayaan komunitas sekolah.

Menurut penelitian oleh Harris & Jones (2020), distributed leadership meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan, partisipasi guru, dan inovasi sekolah. 

Dalam konteks pedesaan seperti Sabu, model ini sangat relevan karena memanfaatkan kekuatan hubungan sosial yang sudah terbentuk: guru, orang tua, tokoh adat, dan masyarakat saling terkait dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar dari Kekerabatan Sabu: Sekolah Sebagai Rumah Adat

Dalam sistem sosial Sabu, konsep “hubi ae” dan “hubi iki” dua garis kekerabatan yang menyusun tatanan masyarakat mengajarkan pentingnya kesalingan, tanggung jawab bersama, dan keseimbangan relasi. 

Setiap individu bertindak dalam kesadaran bahwa ia terhubung dengan yang lain. Tidak ada pemimpin tanpa rakyat, dan tidak ada rakyat tanpa pemeliharaan pemimpin.

Kepala sekolah dalam konteks ini tidak bisa hanya bertindak sebagai direktur atau mandor. Ia harus menjadi:

  • Penjaga keseimbangan, seperti tua adat yang bijak dalam menyatukan suara.
  • Pengayom komunitas, yang memahami bahwa setiap guru dan siswa adalah anggota keluarga.
  • Penggerak partisipatif, yang mampu memanggil semua unsur sekolah untuk bekerja dari hati, bukan karena instruksi.
Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved