Opini

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah dan Pencegahan Bunuh Diri Remaja

Peserta yang hadir baik dalam seminar di Lewoleba Lembata 1 Mei 2025 (SKO  San Bernardino), kemudian di Unwira Kupang 3 Mei masih sedikit. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-ROBERT BALA
TALKSHOW - Robert Bala dalam talkshow mengenai Deteksi dan Pencegahan Bunuh Diri Remaja di Larantuka 24 Juni 2025. 

Oleh: Robert Bala
Penulis Buku Sebelum Bunuh Diri, Penerbit Ledalero Mei 2025

POS-KUPANG.COM - Minggu pagi 6 Juli 2025 pukul 09.35, saat dalam berada di Kupang dalam persiapan balik ke Jakarta, saya mendapatkan WA dari seorang rekan: Selamat pagi kaka. Ada orang gantung diri lagi di Kota Baru, Lewoleba Lembata kakak"  Membaca isi WA itu saya hanya menjawab: Aduh.

Tentu hal kecil yang sudah dibuat dengan Talkshow tentang Deteksi dan Pencegahan Bunuh Diri yang penulis lakukan sangat sedikit. 

Peserta yang hadir baik dalam seminar di Lewoleba Lembata 1 Mei 2025 (SKO  San Bernardino), kemudian di Unwira Kupang 3 Mei masih sedikit. 

Demikian juga peserta para guru dan pegiat sosial di Larantuka pada 24 Juni 2025 juga tidak banyak. 

Adanya tendensi kian banyaknya kasus bunuh diri remaja di satu pihak dan sambutan yang suam-suam kuku dari khalayak memunculkan pertanyaan tentang apa yang perlu dilakukan untuk mencegah kasus bunuh diri remaja terutama di awal tahun ajaran atau lebih dikenal dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah ( MPLS)?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu akui bahwa terhadap kasus bunuh diri, lebih banyak orang yang memilih diam. 

Ia sebatas ‘digosipkan’ dengan mengaitkan persoalan yang bisa dianggap sebagai pemicu. 

Masalahnya kadang media ‘abal-abalan’ dengan mudah mencari sensasi dengan membahas hal yang sebenarnya bukan persoalannya. 

Kasus bunuh diri di Rote yang melihatkan seorang anggota aktif TNI misalnya dengan mudah dikaitkan dengan persoalan belis. 

Bila diteliti lebih jauh bisa saja hal itu bukan akar masalahnya. Hal ini hanya menggambarkan tentang tidak terbukanya masyarakat untuk membahasnya secara lebih profesional untuk mencari akar persoalannya. 

Ketakacuan masyarakat dalam membahas persoalan ini seiring juga dengan sikap dingin pemerintah yang tidak atau belum menganggapnya serius. 

Beberapa dinas yang dihubungi untuk melibatkan masyarakat dalam proses konsientisasi (penyadaran), masih mengangap sebagai program dari luar yang belum terlalu urgen ditanggapi. 

Jadilah kasus bunuh diri (remaja) hanya dibahas pada tataran gosip. Ia dibicarakan ketika ada kasus. Bila tidak ada kasus maka semuanya bersikap ‘podo wae’ alias sama saja dan tidak menganggapnya serius. 

Di Lembata, saya justru mendapatkan sambutan dari Deken Lembata dan para pastor paroki yang menyadari hal ini sebagai hal yang sangat urgen. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved