Opini
Opini: Produksi Film Berbasis Budaya Daerah NTT Perlu Didukung Pemerintah
Sayangnya, sineas muda di NTT masih harus berjuang dalam ruang yang terbatas, seringkali hanya bermodal semangat dan gotong royong komunitas.
Oleh: Pieter Kembo
Seniman Teater dan Film NTT, Penerima Anugerah Kebudayaan Provinsi NTT Bidang Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu.
POS-KUPANG.COM - Nusa Tenggara Timur ( NTT) adalah wilayah yang dikaruniai keragaman budaya yang luar biasa.
Di balik bukit-bukit batu, tenun ikat, musik tradisional, dan ritus adat yang hidup dari generasi ke generasi, tersimpan kisah-kisah yang layak diangkat ke layar lebar.
Namun, hingga hari ini, kekayaan budaya tersebut masih belum mendapat tempat yang layak dalam dunia perfilman nasional.
Sebagai seniman yang tumbuh dan berkarya dari bumi Flobamora, saya percaya bahwa film bukan sekadar hiburan, ia adalah medium edukasi, pelestarian, dan diplomasi budaya yang sangat kuat.
Sayangnya, banyak potensi cerita dari NTT yang berhenti di tingkat narasi lisan karena keterbatasan akses produksi, pendanaan, dan dukungan teknis.
Di titik inilah, dukungan negara menjadi penting dan mendesak.
Karya-karya film berbasis budaya daerah, bila didukung dengan serius, dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam menjaga jati diri bangsa.
Cerita tentang asal-usul Danau Kelimutu, kearifan lokal masyarakat adat di Lembata, atau perjuangan perempuan penenun di Timor, bukan hanya layak ditonton, tetapi juga perlu didokumentasikan untuk masa depan.
Sayangnya, sineas muda di NTT masih harus berjuang dalam ruang yang terbatas, seringkali hanya bermodal semangat dan gotong royong komunitas.
Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengambil langkah strategis dalam mendukung produksi film berbasis budaya lokal.
Dukungan ini tidak hanya berbentuk anggaran, tetapi juga perlu diwujudkan melalui kebijakan, pelatihan teknis, festival film daerah, dan distribusi karya melalui kanal yang lebih luas, termasuk platform digital.
Film juga terbukti mampu mendorong sektor lain, terutama pariwisata.
Kita telah melihat bagaimana visualisasi tempat dalam film atau dokumenter mampu menarik minat wisatawan, seperti yang terjadi di Labuan Bajo dan Sumba.
Film tidak hanya membawa penonton ke dunia cerita, tetapi juga membawa wisatawan ke dunia nyata tempat cerita itu berasal.
Dampaknya pun nyata: peningkatan ekonomi lokal, terbukanya lapangan kerja, dan lahirnya pelaku industri kreatif baru di daerah.
Dalam konteks kebangsaan, mendukung produksi film dari daerah seperti NTT berarti mengakui bahwa narasi Indonesia tidak hanya dibangun dari pusat, tetapi juga dari pinggiran.
Setiap cerita lokal adalah bagian dari mozaik besar kebudayaan nasional.
Jika tidak diberi ruang, maka yang akan tumbuh hanyalah suara yang seragam, dan itu bukan cermin utuh Indonesia.
Saya percaya, anak-anak muda NTT punya semangat dan bakat besar dalam berkarya.
Yang mereka butuhkan adalah keberpihakan. Pemerintah tidak bisa hanya menjadi penonton dalam proses ini.
Ia harus menjadi fasilitator, mitra, bahkan pemantik lahirnya gelombang baru sinema budaya dari timur Indonesia.
Mendukung produksi film berbasis budaya lokal bukan hanya soal melestarikan masa lalu, tetapi juga soal membentuk masa depan: masa depan di mana anak-anak NTT bisa melihat diri dan budayanya di layar, dan bangga menjadi bagian dari Indonesia. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.