Opini

Opini: Evaluasi Otonomi Daerah dan Momok Kemiskinan NTT

Tidak dapat dipungkiri bahwa pesta demokrasi hampir satu dekade belakangan ini dihiasi buah hasil otonomi daerah. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Marini Sari Dewi Seger 

Parameter Otonomi Daerah di NTT

Parameter pengukuran otonomi daerah dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan demokrasi yang seharusnya perlu disadari, diukur dan ditimbang selama 26 tahun otonomi daerah. 

Mari kita lihat angka kemiskinan, data BPS  angka kemiskinan mencapai 24,06 juta jiwa penduduk dengan tingkat kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) sebesar Rp 595.243 per kapita per bulan (Kompas.id, 13 Juni 2025) dan Provinsi NTT termasuk dalam provinsi termiskin posisi ke 3 (BPS, 2025).

Bahkan hal ini membuat dana yang mengalir dari pusat ke NTT terus bertambah dan menimbulkan efek ketergantungan fiskal. 

Dana fiskal buah otonomi daerah belum mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT sekalipun dana tersebut terus bertambah tiap tahun. 

Dalam aspek pelayanan publik, perlahan semua daerah ditarik kembali menjadi urusan pusat akibat sumber daya manusia di daerah yang belum mumpuni, pengelolaan birokrasi berbasis entitas lokal dan cenderung subjektif. 

Lalu bagaimana dengan Aspek demokrasi, laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025 tentang Indeks Demokrasi 2024, Indeks Demokrasi Indonesia mencapai skor 6,44 dari skala tertinggi 10 dan Provinsi NTT berada dalam ketegori sedang dalam Indeks Demokrasi Indonesia. 

Dengan skor tersebut, secara keseluruhan demokrasi Indonesia berada dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy). 

Hal ini tidak terlepas dari tingkat kemiskinan yang juga tinggi akan sulit menghasilkan pemilu berkualitas. 

Penulis mengutip apa yang dikatakan oleh Dahl dalam Polyarchy, Participation and Opposition bahwa sumber daya politik di tangan yang kaya, mengurangi partisipasi rakyat miskin serta membuat frustrasi sosial yang merusak legitimasi terhadap demokrasi.

Realitas dari parameter ini menjadi antithesis impian otonomi daerah. Riset dari Semeru institut menyoal anak yang terlahir miskin hingga dewasa akan dilingkupi kemiskinan alias tidak memiliki peluang mencapai kesejahteraan. 

Tentu kita tidak ingin melihat otonomi daerah mengantar perjalanan penduduk Provinsi NTT menjadi semakin miskin di setiap ulang tahunnya.

Evaluasi otonomi daerah

Bonus otonomi daerah memang menggiurkan disamping tujuan mulianya, bahkan pengajuan proposal pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) berkembang pesat (Kompas,id. 28 Mei 2025). 

Di NTT isu pemekaran wilayah menguat dari berbagai platform informasi, penulis menemukan ada 6 DOB hasil pemekaran yakni Provinsi Kepulauan Flores, Provinsi Manggarai Raya, Provinsi Kepulauan Lembata Alor, Provinsi Sumba-Sabu Raijua, Provinsi Timor Barat dan Provinsi Kupang Raya. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved