Wina Armada Berpulang
In Memoriam Wina Armada: Hoax dan Kematian Kebenaran
Tiga hari sebelum ia wafat, saya mengirim pesan resmi ke enam WAG Satupena, mengajak semua mendoakan kesembuhannya.
Di tahun 2017, di panggung World Press Freedom Day di Jakarta Convention Center, Wina berdiri bukan untuk merayakan, tapi memperingatkan.
Dalam diskusi bertajuk “Memerangi Hoax, Memperkuat Media Siber Nasional,” ia mengucapkan satu kalimat yang tak terlupakan:
“Jika masih ada insan pers menyebarkan atau membuat hoax, sanksi baginya harus diperberat.”
Itu bukan sekadar seruan moral. Itu alarm etik. Di era ketika satu genggaman tangan bisa menyebar kebohongan ke jutaan orang, Wina mengingatkan bahwa pers tidak bisa ikut larut dalam kebisingan tanpa verifikasi.
Teknologi adalah keniscayaan, kata Wina. Tapi di balik kemudahan itu, lahir pula para “wartawan abal-abal.”
Itu istilah untuk mereka yang tak terlatih, tak terikat etika, hanya mengejar kecepatan, bukan kebenaran.
“Jurnalisme bukan hanya soal menyebarkan informasi,” ucapnya, “tapi soal tanggung jawab.”
Apa yang membuat Wina mengeluarkan peringatan itu?
Ia memahami bahwa struktur masyarakat telah berubah. Dulu, hanya pers yang bisa menyebar berita massal. Kini, semua orang bisa.
Tapi tak semua orang punya integritas jurnalistik. Demokratisasi informasi tanpa kesadaran etik melahirkan lahan subur bagi hoax.
Ia juga mencemaskan kemunduran industri berita. Media cetak melambat, iklan beralih, dan pers profesional kehilangan pijakan.
Dalam kekacauan itu, hoax tak lagi sekadar gangguan. ia menjelma menjadi pengganti kebenaran.
Karena itu, bagi Wina, sanksi tak bisa lagi bersifat administratif. Ia harus menjadi penanda tegas bahwa penyebaran hoax dari dalam tubuh pers adalah pengkhianatan pada profesi.
Sejarah membuktikan betapa berbahayanya hoax.
Tahun 1994, Rwanda dihancurkan oleh radio RTLM yang menyebar hoax dan ujaran kebencian. Kelompok Tutsi disebut “kecoa.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.