Opini
Opini: Pendidikan Disandera Pajak
Dinas Pendidikan setempat mewajibkan bukti lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebagai syarat untuk mendaftarkan anak ke sekolah.
Oleh: Petrus Redy P. Jaya
Dosen Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng, dan Peneliti bidang Evaluasi Pendidikan
POS-KUPANG.COM - Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi konstitusi dan hak asasi manusia, ironisnya justru lahir kebijakan-kebijakan lokal yang bertentangan secara terang-terangan dengan prinsip dasar negara.
Salah satu contoh nyata datang dari Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dinas Pendidikan setempat mewajibkan bukti lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebagai syarat untuk mendaftarkan anak ke sekolah.
Kewajiban ini tertuang dalam Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manggarai Nomor: B/1488/400.3.6.5/VI/2025 yang ditujukan kepada Kepala TK, SD, dan SMP se-Kabupaten Manggarai.
Jika kita membiarkan kebijakan semacam ini terus berlangsung, maka kita sedang merobek-robek wajah keadilan sosial dan mencabut harapan dari tangan anak-anak Indonesia yang paling rentan.
Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti tiga dimensi utama dari kebijakan yang bermasalah ini:
(1) pelanggaran terhadap konstitusi dna hukum nasional, (2) pengingkaran terhadap realitas sosial dan nilai-nilai kemanusiaan, serta (3) bahaya preseden dan implikasi buruknya bagi masa depan pendidikan Indonesia.
Pelanggaran terhadap Konstitusi dan Hukum Nasional
Kebijakan yang menjadikan bukti lunas PBB sebagai syarat administratif pendidikan bukan sekadar salah urus atau miskomunikasi.
Ini adalah bentuk nyata pelanggaran konstitusi. Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara eksplisit bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Kata “setiap” di sini bukan kata kosong melainkan bermakna inklusif, universal, tanpa syarat.
Kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai justru memelintir semangar konstitusi tersebut dengan menambahkan syarat yang tidak berdasar secara hukum.
Hal ini perparah oleh fakta bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan yang bermutu dan tanpa diskriminasi.
Pasal 5 Ayat (1) bahkan menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Ketika anak-anak dari keluarga miskin disingkirkan hanya karena orang tua mereka belum mampu melunasi PBB, itu bukan sekadar diskriminasi.
Itu adalah bentuk penghalangan terhadap hal asasi manusia yang paling dasar, yakni hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pemerintah daerah telah bertindak seolah-olah mereka memiliki wewenang untuk mengubah konstitusi demi kepentingan fiskal sesaat. Ini bukan sekadar cacat hukum, tetapi juga cacat etika.
Mengabaikan realitas Sosial dan Nilai-Nilai Kemanusiaan
NTT tempat Manggarai berada, adalah salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024 menunjukkan angka kemiskinan mencapai 19,48 persen.
Artinya, satu dari lima warga hidup dalam garis kemiskinan atau bahkan lebih buruk.
Dalam situasi seperti itu, keterlambatan atau ketidakmampuan membayar PBB bukanlah bentuk pembangkangan warga terhadap negara.
Sebaliknya, itu adalah refleksi dari keterpurukan ekonomi dan pilihan hidup yang sangat sulit.
Banyak keluarga harus memilih antara membayar pajak atau membeli makanan pokok, antara melunasi PBB atau membayar uang transport anak ke sekolah.
Apakah kita begitu kejam untuk menghukum anak-anak atas keterbatasan ekonomi orang tuanya?
Kebijakan ini juga mengingkari prinsip kemanusiaan dalam kebijakan publik.
Pendidikan adalah satu-satunya jalan yang benar-benar terbukti efektif menutup jalan itu bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Alih-alih melayani sebagai jembatan harapan, pendidikan justru diposisikan sebagai arena seleksi berdasarkan status ekonomi keluarga.
Preseden Berbahaya dan Ancaman Sistemik bagi Masa Depan Pendidikan
Hal yang paling mengkuatirkan dari kebijakan ini adalah potensi menularnya kebijakan buruk.
Ketika satu daerah mulai menjadikan hak dasar sebagai alat tekanan ekonomi, maka akan muncul godaan bagi daerah-daerah lain untuk meniru demi alasan serupa: mengejar PAD, menertibkan pajak, atau menumbuhkan kedisiplinan.
Jika itu terjadi, maka kita sedang meluncur ke jurang di mana pendidikan bukan lagi hak, melainkan hak istimewa yang hanya diberikan kepada keluarga yang “lulus administratif.”
Ini adalah ancaman sistemik. Pendidikan adalah satu-satunya sektor di mana negara seharusnya hadir paling kuat dan paling setia.
Negara boleh tegas dalam penegakan pajak, tapi jangan pernah menyentuh ranah pendidikan dengan tangan paksaan.
Karena sekali kita membiarkan pendidikan ditentukan oleh status pembayaran pajak, kita membuka jalan bagi bentuk-bentuk eksklusi yang lebih luas: berbasis domisili, status pekerjaan orang tua, atau bahkan afiliasi politik.
Sebagai bangsa, kita tidak boleh diam. Kita harus bersuara lantang menolak logika kebijakan yang menyandera hak anak demi kepentingan fiskal jangka pendek.
Pemerintah, pusat khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Dalam Negeri, perlu segera turun tangan.
Jika dibiarkan, kebijakan seperti ini akan menjadi preseden hukum yang berbahaya dan membuka celah pelanggaran HAM yang lebih luas di sektor pendidikan.
Saatnya Kita Mimilih Pihak
Kini bukan saatnya berbicara normatif. Kita harus memilih: apakah kita berpihak pada keadilan dan masa depan anak-anak Indonesia, atau membiarkan kebijakan yang mematikan harapan terus berlangsung di atas nama “penertiban administrasi:?
Kita perlu menyerukan beberapa tindakan tegas: (1) mencabut kebijakan syarat PBB sebagai prasyarat pendidikan;
(2) Kementerian terkait harus menegur secara terbuka dan membina daerah agar tidak menyimpang dari mandat konstitusi;
(3) Ombudsman RI perlu menyelidiki potensi pelanggaran/maladministrasi dalam penerbitan dan pelaksanaan kebijakan ini.
Pendidikan adalah hak, bukan imbalan. Pajak boleh menjadi tulang punggung pembangunan, tetapi pendidikan adalah jiwa bangsa.
Mengorbankan jiwa bangsa demi memeras rakyat kecil adalah kegagalan paling hakiki dalam menjalankan amanat reformasi. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.