Opini

Opini: Dimensi Perubahan Cuaca di Pulau Timor, Antara Persepsi dan Kode Alam

Di Pulau Timor, cuaca adalah bahasa yang hidup, simbol yang hadir dalam tiap gerak kehidupan masyarakat. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRI
Redemptus De Ferento Nino 

 Kode Alam: Pengetahuan yang Terkikis

Generasi muda Timor mulai kehilangan kemampuan membaca kode alam. Hal ini bukan semata akibat modernisasi, tetapi juga karena ekosistem yang menjadi referensi dari kode-kode itu telah berubah drastis. 

Burung yang menjadi penanda musim kini terancam habitatnya. Sungai tempat mandi kerbau yang menandai musim kemarau kini tak lagi mengalir.

Akibatnya, prediksi cuaca berbasis lokal pun jadi tak lagi akurat. Masyarakat desa kebingungan menentukan waktu tanam. Bahkan upacara adat yang biasanya ditentukan berdasarkan musim mulai mengalami pergeseran waktu.

Ketika kode alam tidak lagi dapat dibaca dengan benar, masyarakat mulai menggantungkan diri pada aplikasi cuaca atau ramalan BMKG. 

Namun, prediksi digital ini masih sering meleset, terutama di daerah-daerah perbukitan Timor yang memiliki mikroklimat khas. 

Maka, terjadilah kekosongan: kode lama tak lagi bekerja, kode baru belum bisa dipercaya.

Dimensi Filosofis: Cuaca dan Relasi Spiritual dengan Alam

Dalam kosmologi Timor, cuaca bukan hanya fenomena fisik, melainkan bagian dari relasi antara manusia dan alam. Hujan adalah berkah, kemarau adalah ujian, petir adalah teguran. 

Semua itu memiliki nilai spiritual dan etis. Alam bukan objek, tapi subjek yang hidup bersama manusia.

Perubahan cuaca yang ekstrem menjadi tanda bahwa hubungan itu telah rusak. 

Dalam tradisi lisan, sering diceritakan bahwa jika manusia rakus dan tidak menghormati tanah, maka langit akan murka. 

Dalam narasi ini, perubahan iklim bukan hanya soal karbon, tapi soal etika ekologis.

Hal ini membuka ruang refleksi: sejauh mana manusia Timor hari ini masih menjaga etika terhadap tanah dan langit? Apakah kita masih menghormati hutan seperti dulu? 

Apakah kita masih menggelar ritual penghormatan terhadap batu, sungai, dan gunung? Atau kita telah menjadikan semua itu sebagai komoditas belaka?

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved