Opini

Opini: Moderasi Beragama Bukan Cuma Damai-damaian Tapi Tanggung Jawab Yang Berdarah Daging

Di tanah seperti Sabu Raijua, di mana Kristen menjadi mayoritas mutlak, justru moderasi harus lebih dalam lagi digumulkan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Refleksi dari Tulaika untuk Gereja-Gereja di Sabu Raijua

Oleh: Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 
Pendeta GMIT, berkarya di Kabupaten Sabu Raijua

POS-KUPANG.COM - Opini ini merupakan refleksi dari kegiatan Penggerak Moderasi Beragama yang dilaksanakan pada Jumat, 27 Juni 2025, di Aula Kantor Klasis Sabu Barat Raijua–Tulaika. 

Sekalipun saya hadir sebagai pemateri dengan judul “Beragam Kristen Dalam Kehidupan Berbangsa: Membangun Kebersamaan Melalui Moderasi Beragama.” 

Namun, diskusi dua jam itu justru melahirkan kegelisahan lebih dalam: bahwa moderasi beragama terlalu penting untuk hanya diringkus dalam forum terbatas dan catatan notulen.

Di tanah seperti Sabu Raijua, di mana Kristen menjadi mayoritas mutlak, justru moderasi harus lebih dalam lagi digumulkan. 

Di sini, tantangan bukan datang dari perbedaan antaragama, tapi dari dalam rumah sendiri: antara GMIT, Gereja Katolik, dan 10 sinode lainnya yang hidup berdampingan secara statistik namun sering tercerai-berai secara praksis. 

Persaingan program, loyalitas klan, perbedaan spiritualitas, bahkan campur tangan kepentingan politik lokal, menjadikan tubuh Kristus bagaikan mosaik yang rapuh.

Moderasi dalam konteks ini bukan proyek pemerintah. Ia adalah watak iman yang sehat. 

Rendah hati dalam kebenaran. Terbuka terhadap perbedaan. Dan aktif dalam solidaritas sosial. 

Ketika iman menjadi bendera kelembagaan, liturgi kehilangan sentuhan sosial, dan pelayanan direduksi menjadi proyek formalistik, maka moderasi menjadi jalan untuk pulang ke Injil yang murni— yang memanggil gereja untuk menjadi terang dan garam di dunia, bukan hanya sinode yang eksis di data statistik.

Moderasi yang Tidak Kosmetik

Seringkali forum lintas agama atau lintas sinode hanya menjadi panggung diplomatik. 

Kita tersenyum, saling ucap salam, berfoto bersama, lalu pulang dengan prasangka dan ego masing-masing. 

Bahkan dalam tubuh Kristen sendiri, moderasi lebih sering menjadi basa-basi sosial ketimbang komitmen teologis.

Di Sabu Raijua, tantangan utama moderasi bukanlah perbedaan keyakinan antar agama, melainkan fragmentasi internal antar gereja: siapa paling awal membuka pos pelayanan? 

Siapa lebih dekat dengan aparat? Siapa menguasai struktur adat? Pertanyaan-pertanyaan ini sering menggantikan semangat kerjasama dengan mentalitas kompetisi yang justru merusak kesaksian Injil.

Moderasi bukan tentang menekan perbedaan, tapi membangun pengakuan mutual bahwa dalam keberagaman, kita dipanggil untuk menghidupi kasih Kristus yang melampaui sekat sinode dan denominasi.

Luka-Luka yang Membisu

Di balik keberagamaan yang tampak utuh, realitas Sabu Raijua menyimpan luka-luka sosial yang sering diabaikan, disapu di bawah tikar adat, atau ditutup rapat dengan doa tanpa tindakan. 

Beberapa luka berikut adalah tanda bahwa gereja belum sepenuhnya hadir sebagai penyembuh.

Pertama, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Masih banyak perempuan mengalami kekerasan domestik yang direspons dengan saran “sabar dan berdoa”. 

Gereja seringkali menempatkan perdamaian di atas keadilan, padahal Yesus sendiri tidak kompromi terhadap ketidakadilan. 

Diamnya gereja terhadap KDRT membuat korban semakin tidak berdaya dan pelaku merasa dilindungi oleh struktur budaya maupun rohani.

Kedua, Pelecehan Seksual yang Diselesaikan Secara Adat : Pelecehan seksual terhadap anak-anak, remaja, bahkan pelayan gereja, kerap ditangani dengan mekanisme “damai adat”: bayar denda, tutup mulut. 

Ini bukan keadilan, ini penghinaan terhadap martabat korban. Gereja mestinya menjadi ruang perlindungan dan keadilan, bukan justifikasi sosial yang menyelubungi kejahatan.

Ketiga, Kemiskinan Struktural yang Dianggap Takdir Ilahi: Ketika masyarakat miskin dianggap kurang beriman, ketika kemiskinan dilabeli sebagai “rencana Tuhan”, maka kita sedang mengabaikan tanggung jawab sosial Injil. 

Kemiskinan yang bersumber dari ketimpangan distribusi, pengabaian kebijakan, dan kelumpuhan pelayanan dasar, tidak bisa dijawab dengan penghiburan rohani belaka.  Itu harus dihadapi dengan pembelaan dan perlawanan pastoral yang nyata.

Keempat, Tambang dan Ekologi yang Terkoyak : Isu rencana eksploitasi mangan di Waduwalla bukan hanya masalah lingkungan. Ia adalah luka terhadap masa depan. Gereja tidak bisa hanya menyebutnya sebagai urusan kebijakan publik. 

Dalam terang Injil, kerusakan bumi adalah persekongkolan dosa antara manusia, kekuasaan, dan sistem yang rakus. Teolog Jürgen Moltmann menyebutnya: “penderitaan ciptaan adalah penderitaan Allah sendiri.” Maka diamnya gereja adalah diamnya pengkhianatan terhadap ciptaan.

Kelima, Dilema Tradisi dan Perjudian Terselubung : Fenomena arena judi berkedok adat adalah paradoks besar. Di satu sisi, rakyat menjadikannya ruang ekonomi untuk berdagang, mencari nafkah, menggerakkan uang. 

Di sisi lain, tempat itu menjadi pusat perjudian terselubung yang merusak. Tapi kenapa rakyat ke sana? Karena negara gagal menyediakan pasar yang sehat dan stabil. 

Pemerintah abai menciptakan sistem ekonomi lokal yang bermartabat, sehingga rakyat menjadikan acara adat sebagai ‘pasar darurat’.

Gereja harus peka. Tidak bisa hanya berkata “judi itu dosa” lalu pergi. Gereja harus hadir: menciptakan ruang usaha, mendampingi pedagang, dan menjadi suara moral yang bukan hanya mengutuk, tetapi juga menghadirkan solusi ekonomi yang adil.

Yesus: Moderasi yang Menggugat dan Menyembuhkan

Gereja kerap tampil dalam setiap pesta politik. Mimpin doa syukur. Diberi tempat duduk terhormat. 

Tapi setelah itu, gereja kembali jadi penonton ketika janji-janji pembangunan diingkari. Jalan tetap rusak. Air tetap sulit. 

Guru tetap kurang. Dan gereja? Sibuk menyusun jadwal ibadah bulan depan. Moderasi yang sejati tidak sekadar merangkul kekuasaan, tetapi menggugatnya bila abai terhadap tanggung jawab sosial. 

Mitra pemerintah bukan berarti mitra diam. Ia adalah penolong yang setia, bukan penggembira dalam narasi palsu kemajuan.

Yesus adalah gambaran paling otentik dari moderasi yang benar. Ia tidak ekstrem, tetapi juga tidak kompromis. Ia hadir di tengah—tapi berpihak. 

Ia berdialog dengan Samaria, tetapi juga menegur Farisi. Ia memulihkan perempuan, tetapi juga membalik meja di bait Allah.

Moderasi Yesus bukan sikap hangat-hangat kuku. Itu adalah keseimbangan antara belas kasih dan keberanian moral. Gereja mesti meneladan Yesus dalam keberanian untuk menyentuh yang lemah dan menantang struktur yang membusuk.

Moderasi yang Berbuah Aksi Sosial

Moderasi di Sabu Raijua harus melahirkan tindakan konkret, bukan hanya pertemuan rutin. Gereja perlu:

  • Membentuk forum lintas sinode untuk penyembuhan sosial dan advokasi publik.
  • Mendirikan rumah aman dan klinik konsultasi untuk korban kekerasan.
  • Menginisiasi pasar rakyat gereja sebagai alternatif ekonomi adil.
  • Menggerakkan sekolah informal atau kelas belajar gratis di kampung.
  • Merawat dan memperjuangkan kawasan adat dan ekologis dari eksploitasi.

Penutup: Dari Tulaika ke Tanah Misi

Moderasi bukan jalan nyaman. Ia adalah jalan sempit penuh tantangan. Tapi itulah jalan gereja. 

Bukan gereja yang besar gedungnya, melainkan yang dalam cintanya kepada umat. Bukan gereja yang banyak sinodenya, tetapi yang satu dalam suara kenabian.

Karena di akhir zaman, Tuhan tidak akan menanyai gereja mana yang paling banyak membangun gedung, tapi gereja mana yang paling mencintai yang menderita.

Dan moderasi sejati bukan sekadar menjaga kerukunan, tapi juga  menyembuhkan luka, membongkar kezaliman, dan membangun harapan. 

Dari Tulaika, semoga suara ini menjadi gerakan. Dari Sabu Raijua, semoga gereja menjadi tanda kasih yang berpihak dan bertanggung jawab. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved