Opini

Opini: Membangun Kebijakan Publik Berkeadilan

Namun di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, narasi indah itu retak di hadapan kenyataan sosial. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
I Putu Yoga Bumi Pradana 

Oleh: I Putu Yoga Bumi Pradana 
Dosen Pada Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP Undana Kupang, Koordinator Program Studi Magister Studi Pembangunan Undana, Alumni Program Doktor Ilmu Administrasi Publik FISIPOL UGM

POS-KUPANG.COM - Di tengah ancaman krisis iklim global, dunia seakan berlomba mengejar transisi menuju energi hijau. 

Indonesia pun berkomitmen menggenjot bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025. Geothermal, sebagai sumber energi rendah karbon, menjadi tulang punggung strategi ini.

Namun di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, narasi indah itu retak di hadapan kenyataan sosial. 

Sejak 2023, ribuan warga adat Poco Leok menolak proyek geothermal yang digarap PT Geo Dipa Energi. 

Bagi mereka, ini bukan sekadar proyek energi, melainkan ancaman bagi tanah leluhur, situs sakral, dan harmoni ekologis yang diwariskan lintas generasi.

Baca juga: Opini: Dari Taupo ke Poco Leok, Menimbang Kembali Co-Management dalam Proyek Geotermal Flores

Bagaimana mungkin proyek yang dijanjikan sebagai energi bersih justru memicu konflik? 

Di sinilah kepala daerah ditantang untuk memperkaya cara pandang kebijakan publik. 

Konteks ini menuntut pemahaman yang melampaui kalkulasi teknokratik, yakni membaca konflik geothermal lewat dialektika antara perspektif kiri Political Ecology dan Public Policy Instrumentalism yang lebih berhaluan rasional.

Pembangunan sebagai Proyek Kuasa

Sebagaimana dikemukakan oleh Paul Robbins (2012), Political Ecology mengajarkan bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak pernah steril dari politik. 

Di balik jargon teknokratik dan retorika keberlanjutan, pembangunan seringkali menjadi alat bagi aktor dominan untuk mereproduksi kekuasaan.

Konsep green grabbing yang dikembangkan oleh James Fairhead, Melissa Leach, dan Ian Scoones (2012) memperjelas fenomena ini: lahan, hutan, dan sumber daya komunitas sering diambil alih atas nama konservasi atau transisi energi hijau. 

"What appears green on the surface," tulis mereka, "often masks dispossession and exclusion underneath."

Lebih tajam lagi, David Harvey (2003) dalam konsep accumulation by dispossession menyingkap logika kapitalisme kontemporer yang terus merampas hak-hak komunitas demi akumulasi modal. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved