Opini
Opini: Krisis Ketenagakerjaan di Tengah Gempuran AI
Akan tercipta 170 juta lapangan pekerjaan baru secara global, akan tetapi92 juta lapangan pekerjaan diprediksi akan hilang karena digantikan oleh AI.
Oleh: Made Indra Prastya
BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Jika Anda adalah pekerja kantoran, besar kemungkinan dalam seminggu terakhir Anda mengakses ChatGPT, DeepSeek, Claude atau platform berbasis AI lainnya untuk membantu pekerjaan Anda.
Tidak dapat dipungkiri, produktivitas pekerja dapat meningkat dengan menggunakan bantuan AI, terutama dalam pekerjaan kantoran atau pekerja kerah putih.
Berdasarkan laporan dari CNBC, AI tidak hanya meningkatkan produktivitas pekerja tapi juga berpotensi menggantikan pekerja manusia terutama untuk posisi entry level.
Perubahan drastis lanskap ketenagakerjaan dalam dekade mendatang menjadi ancaman serius bagi Indonesia yang sedang menghadapi surplus tenaga kerja akibat bonus demografi.
Laporan dari World Economic Forum yang bertajuk “The Future of Jobs Report 2025” menyatakan sekitar 40 persen pemberi kerja di dunia akan mengurangi tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan yang bisa diotomatisasi oleh AI.
Meskipun diproyeksikan akan tercipta 170 juta lapangan pekerjaan baru secara global, 92 juta lapangan pekerjaan diprediksi akan hilang karena digantikan oleh AI.
Fenomena Bottleneck diprediksi akan terjadi, dimana pekerja lebih cepat digantikan dengan AI dibandingkan dengan terciptanya lapangan pekerjaan baru.
Fenomena ini dapat menimbulkan lonjakan angka pengangguran yang perlu menjadi perhatian serius.
Beberapa sektor pekerjaan yang terkena dampak signifikan terhadap AI, yaitu sektor teknologi informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi.
Jika revolusi industri 3.0 yang didasari oleh otomatisasi mesin berdampak pada jutaan pekerja kerah biru atau blue collar worker, maka revolusi industri 4.0 akan menimbulkan disrupsi pada pekerja kerah putih atau white collar worker.
Contoh yang sering kita temui adalah bagaimana perusahaan menggunakan AI berupa chatbot dalam customer service sebagai lapisan pertama sebelum diarahkan ke pekerja manusia.
Meskipun tidak secara penuh menggantikan pekerja manusia, namun perusahaan akan memaksimalkan profit dengan cara meminimalisir pekerja manusia dan menggantikannya dengan AI.
Pekerja entry level atau pekerja pemula diperkirakan akan terkena dampak yang signifikan karena mayoritas pekerjaan yang ditangani bersifat administratif, repetitif, dan berisiko rendah yang dapat diotomatisasi AI dengan baik.
Setiap tahun puluhan ribu pekerja baru akan memasuki pasar tenaga kerja, namun peluang mereka semakin menyempit.
Menurut data BPS, angkatan kerja Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 berjumlah 3.118.678 jiwa, meningkat 127.962 pekerja dari tahun sebelumnya dan diproyeksikan akan terus meningkat untuk beberapa tahun ke depan.
Meskipun mayoritas pekerja NTT berada di sektor pertanian yang relatif aman dari otomatisasi AI, terdapat sekitar 750 ribu pekerja kantoran yang rentan terhadap disrupsi teknologi ini.
Tantangan semakin kompleks ketika melihat profil pendidikan angkatan kerja.
Hanya 14 persen yang merupakan lulusan pendidikan tinggi pada tahun 2022.
Hal ini berarti sebagian besar pekerja kantoran tersebut masuk ke kelompok rentan kehilangan kesempatan kerja karena digantikan AI.
Bahkan lulusan pendidikan tinggi tidak menjamin pasti mendapatkan pekerjaan karena bersaing tidak hanya dengan sesama pencari kerja, tetapi juga dengan AI yang semakin canggih.
AI kini mampu melakukan analisis data, membuat laporan, konten, hingga desain grafis hanya dengan bermodalkan prompt atau instruksi sederhana.
Konsekuensinya, pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan banyak pekerja manusia dengan beragam keterampilan dapat direduksi menjadi satu atau dua orang dengan bantuan AI sehingga mengurangi lapangan pekerjaan.
Saat ini, Provinsi NTT memang bukan provinsi yang terdampak oleh paparan AI secara signifikan.
Sebagai provinsi dengan ekonomi yang masih bertumpu pada sektor agrikultur, penetrasi teknologi AI belum mencapai tingkat yang mengkhawatirkan seperti di provinsi-provinsi industri atau pusat bisnis.
Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya infrastruktur digital sehingga implementasi AI memerlukan biaya yang besar dan mayoritas pekerjaan pun masih bersifat pekerjaan manual.
Namun, jika tidak melakukan persiapan dan intervensi dari pemerintah, maka AI akan menjadi bom waktu dalam dekade mendatang.
Ketidaksiapan menghadapi perubahan dinamika ketenagakerjaan berisiko menimbulkan lonjakan angka pengangguran yang berpotensi memicu ragam masalah sosial lainnya.
Apalagi, kesenjangan digital dan rendahnya tingkat pendidikan di kalangan angkatan kerja di NTT dapat semakin memperlemah daya saing tenaga kerja lokal di pasar kerja nasional.
Riset Amazon Web Services (AWS) dengan Access Partnership bertajuk ”Accelerating AI Skills: Preparing the Asia Pacific Workforce for Jobs of the Future” yang dirilis pada Maret 2024 menunjukkan kebutuhan akan pekerja yang mahir menggunakan AI akan semakin tinggi dan tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan digital akan tertinggal dari kompetisi pasar kerja yang semakin kompetitif.
Kondisi ini tentu menjadi alarm bagi NTT untuk segera membangun kapasitas SDM, memperluas akses pendidikan berbasis teknologi, serta merancang kebijakan ketenagakerjaan yang adaptif terhadap perkembangan AI.
Pemerintah perlu merencanakan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang dalam menghadapi dinamika ketenagakerjaan akibat perkembangan AI.
Dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan pemetaan komprehensif terhadap profil tenaga kerja NTT serta mengidentifikasi jenis pekerjaan yang paling berpotensi terdampak otomatisasi, sekaligus memproyeksikan sektor-sektor dengan permintaan tenaga kerja tinggi di masa mendatang.
Berdasarkan hasil pemetaan tersebut, pemerintah dapat menyusun program pelatihan dan peningkatan keterampilan dengan fokus pada bidang-bidang yang masih memiliki prospek kuat di era digital, seperti teknologi informasi dasar, kewirausahaan, pariwisata, serta keterampilan teknis di sektor agrikultur modern.
Program pelatihan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kapasitas dan daya saing angkatan kerja yang tersedia saat ini, tetapi juga menjadi strategi untuk memastikan penyerapan tenaga kerja lokal secara optimal.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu menyusun roadmap transformasi ketenagakerjaan berbasis digital yang selaras dengan potensi ekonomi daerah, termasuk memperkuat pendidikan vokasi, serta menghadirkan infrastruktur digital yang merata untuk mempersempit kesenjangan digital dan menjamin setiap individu mendapatkan akses yang sama.
Sebagai individu, yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan keterampilan diri agar tetap relevan di tengah perubahan lanskap ketenagakerjaan.
Generasi muda dan angkatan kerja produktif perlu secara aktif mengembangkan kemampuan digital dasar, literasi AI, serta keterampilan yang bersifat kreatif dan analitis yang masih sulit digantikan oleh teknologi.
Akses internet dan AI semakin mempermudah individu untuk meningkatkan skill mereka.
Platform seperti ChatGPT, jika dimanfaatkan dengan bijak, dapat menjadi tutor virtual yang membantu memahami konsep-konsep baru dan mempelajari keterampilan teknis yang relevan dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini.
Berbagai video pembelajaran terutama yang terkait dengan teknologi informasi tersedia secara gratis di Youtube.
Platform pembelajaran daring juga berlomba-lomba menyediakan bootcamp bersertifikat terjangkau dengan kurikulum yang sesuai dengan permintaan tenaga kerja.
Diperlukan inisiatif pribadi untuk berinvestasi terhadap pengembangan diri dengan memanfaatkan berbagai kemudahan yang tersedia.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap AI, satu hal yang pasti adalah teknologi ini akan terus berkembang dan secara bertahap mengubah lanskap ketenagakerjaan.
Setiap perubahan besar tentu akan memunculkan pergesekan, tantangan, sekaligus peluang baru.
Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan penyusunan regulasi yang efektif dan melibatkan unsur masyarakat untuk memastikan kebijakan yang etis dan inklusif.
Dengan demikian, perkembangan AI dapat diarahkan untuk memperkuat kesejahteraan sosial tanpa meninggalkan kelompok-kelompok rentan dalam ketimpangan digital yang semakin melebar. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.