Opini

Opini: Paradigma Baru Kebijakan Publik untuk Wicked Problems NTT

NTT hari ini menghadapi beragam wicked problems, yakni masalah pelik yang tidak memiliki solusi linier dan memerlukan pendekatan multidimensional. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
I Putu Yoga Bumi Pradana 

Oleh: I Putu Yoga Bumi Pradana
Dosen Pada Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP Undana Kupang, Koordinator Program Studi Magister Studi Pembangunan Undana, Alumni Program Doktor Ilmu Administrasi Publik FISIPOL UGM

POS-KUPANG.COM -  Di banyak ruang diskusi kebijakan di Nusa Tenggara Timur (NTT), kita kerap mendengar seruan menjaga kerukunan, harmoni, dan kesepakatan bersama. 

Dalam konteks masyarakat plural dan adatistik seperti NTT, aspirasi ini terdengar bijak. Namun, benarkah politik harmoni selalu membawa kita lebih dekat pada pemecahan masalah?

Dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si, putra Ngada, Flores, mengingatkan bahwa politik harmoni yang dipaksakan justru berisiko memendam konflik dan menutup peluang perubahan transformatif. 

Dalam bahasa Chantal Mouffe, filsuf politik kontemporer, demokrasi yang sehat bukan tentang menyingkirkan konflik, melainkan mengelolanya secara terbuka dan bermartabat. 

Baca juga: Abu Vulkanik Gunung Lewotobi Menyebar hingga Ende, Warga Diminta Pakai Masker

Ia menegaskan, “Public space must be envisaged as a battleground where different hegemonic projects are confronted.”

NTT hari ini menghadapi beragam wicked problems, yakni masalah pelik yang tidak memiliki solusi linier dan memerlukan pendekatan multidimensional. 

Angka kemiskinan ekstrem di NTT masih bertengger di 20,12 persen (BPS, 2023), jauh di atas rata-rata nasional. Stunting menghantui sekitar 35,3 persen anak balita, salah satu yang tertinggi di Indonesia. 

Provinsi ini juga menjadi episentrum perdagangan manusia: menurut SafeNet dan Komnas Perempuan, pada 2023 tercatat lebih dari 1.000 kasus trafficking yang terdeteksi, sementara kasus tak tercatat diyakini jauh lebih besar. 

Di sektor tata kelola, reformasi birokrasi berbasis merit system masih berjalan setengah hati; laporan KASN menunjukkan bahwa proses pengisian jabatan di berbagai kabupaten/kota di NTT masih sarat praktik patronase dan politik balas budi.

Masalah-masalah tersebut tak bisa diselesaikan dengan pendekatan  teknokratik semata atau politik harmoni semu yang menutup ruang kritik.

Memahami Politik Agonistik

Di tengah kompleksitas tersebut, politik agonistik menawarkan paradigma baru yang patut dipertimbangkan. 

Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, dua pemikir post-Marxist, memperkenalkan konsep ini sebagai respons terhadap ilusi bahwa masyarakat plural bisa sepenuhnya diatur lewat konsensus rasional ala deliberatif murni.

Bagi Mouffe, konflik adalah bagian inheren dalam masyarakat plural. Yang penting bukan menghapus konflik, melainkan membingkai konflik secara sah: mengubah antagonisme (permusuhan total) menjadi agonisme (pertarungan ide dalam ruang demokratis). 

Ia menulis, “Without the possibility of genuine dissent, there is no democracy worthy of its name.”

Dalam kebijakan publik, pendekatan ini berarti bahwa perbedaan nilai, kepentingan, dan identitas harus diakui dan dikelola secara terbuka. 

Proses perumusan kebijakan tak boleh hanya menjadi forum formal yang memoles ketegangan; ia harus menjadi arena pertarungan ide yang sah, transparan, dan inklusif.

NTT, dengan keberagaman etnis, agama, dan struktur sosial yang kuat, justru akan sangat diuntungkan bila mengadopsi paradigma ini. 

Politik harmoni semu terlalu sering menjadi alasan menyingkirkan suara minoritas, mengabaikan kelompok rentan, dan mempertahankan oligarki lokal.

Mengapa Wicked Problems Butuh Politik Agonistik?

Wicked problems seperti kemiskinan, stunting, perdagangan manusia, dan reformasi birokrasi, bersifat kompleks, multidimensi, dan sarat konflik nilai. 

Seperti ditulis Horst Rittel dan Melvin Webber (1973), wicked problems, yakni suatu masalah tidak pernah sepenuhnya terdefinisi, tak memiliki solusi final, dan melibatkan konflik antaraktor dan antaragenda.

Dalam penanganan perdagangan manusia, misalnya, ada konflik antara kepentingan ekonomi keluarga migran, norma budaya adat, dan hak asasi manusia. 

Di isu stunting, perdebatan antara pendekatan medis, pola asuh keluarga, dan kondisi kemiskinan struktural kerap menciptakan kebuntuan kebijakan.

Politik agonistik membantu kita menghadapi kenyataan ini secara jujur. Alih-alih memaksakan konsensus kosong di balik forum formal, kepala daerah mesti membuka ruang deliberatif yang agonistik — tempat perbedaan diakui dan dikelola.

Dalam isu reformasi birokrasi, merit system hanya akan hidup jika proses seleksi terbuka pada pengawasan publik dan kritik. Selama pengisian jabatan dikemas dalam politik harmoni elite, meritokrasi hanya akan menjadi retorika.

Lebih jauh, seperti diingatkan Hannah Arendt, “The meaning of politics is freedom.” Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menampilkan perbedaan di ruang publik, bukan untuk menutupinya demi kenyamanan semu.

Menuju Tata Kelola Demokratis dan Berani

Lantas, bagaimana kepala daerah NTT dapat mengadopsi paradigma ini? Pertama, forum-forum kebijakan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu diubah menjadi arena deliberatif agonistik.

Bukan sekadar seremoni, melainkan wadah terbuka bagi pertarungan ide, menghadirkan aktivis, komunitas adat, perempuan korban trafficking, pelaku bisnis, dan birokrat progresif.

Kedua, dalam perencanaan dan penganggaran, penting menghadirkan mekanisme deliberasi yang benar-benar terbuka: citizen assembly, public hearing yang partisipatif, dan platform daring yang memungkinkan keterlibatan luas.

Ketiga, dalam reformasi birokrasi, Pemda dan KASN perlu membangun proses pengisian jabatan yang terbuka, akuntabel, dan diawasi publik — tidak sekadar arena kompromi elite.

Keempat, dalam penanganan isu substantif seperti stunting, perdagangan manusia, dan kemiskinan ekstrem, perlu dibangun koalisi multi-aktor yang berani menghadirkan perspektif beragam, bukan hanya mengulang program pusat secara normatif.

Dengan mengadopsi politik agonistik, NTT bisa mulai mengubah kultur politik yang terlalu akomodatif dan elitis, menjadi lebih pluralis, demokratis, dan transformatif.

Penutup

NTT berada di titik krusial. Wicked problems yang dihadapi tak bisa diselesaikan dengan politik nyaman atau harmoni yang semu. 

Kebijakan publik berperspektif agonistik menawarkan jalan baru: mengelola perbedaan secara produktif, membuka ruang bagi pemikiran kritis, dan memperkuat tata kelola yang benar-benar demokratis.

Kini, pilihan ada di tangan kepala daerah NTT: bertahan dalam ilusi harmoni atau berani melangkah menuju politik agonistik yang lebih berani, jujur, dan transformatif. Seperti ditegaskan Mouffe, “Conflict, when acknowledged and managed, can be a driving force of democratic renewal.” (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved