Opini

Opini: Dari Taupo ke Poco Leok, Menimbang Kembali Co-Management dalam Proyek Geotermal Flores

Keputusan eksplorasi dan eksploitasi kerap dibuat di tingkat pusat tanpa mekanisme persetujuan dari komunitas terdampak. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Vitalis Wolo 

Ketika negara memaksakan proyek eksplorasi tanpa mengindahkan relasi sakral ini, maka proyek tidak hanya bertentangan dengan hak ekonomi, tetapi juga mengguncang sendi kultural dan ekologis masyarakat.

Lebih jauh lagi, proyek panas bumi di Flores dikemas dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana kecepatan menjadi indikator keberhasilan. 

Namun, dalam atmosfer percepatan itu, prosedur penting seperti AMDAL, konsultasi publik, dan studi antropologis justru dipangkas. 

Hal ini membuka ruang lebar bagi praktik rent seeking—pemburuan rente ekonomi oleh elite yang memanfaatkan kebijakan negara untuk kepentingan privat. 

Penelitian Jeffrey Winters dan Ed Aspinall menunjukkan bagaimana aliansi oligarki menggerakkan banyak proyek infrastruktur dan energi di Indonesia dengan mengabaikan transparansi dan akuntabilitas.

Dalam konteks ini, co-management bisa berubah menjadi alibi baru dari kooptasi lama. 

Ketika forum konsultasi dikendalikan oleh pihak dominan, dan struktur kepemilikan tetap eksklusif, maka partisipasi hanyalah legitimasi, bukan demokrasi. 

Apalagi jika masyarakat lokal hanya diminta menyetujui keputusan yang telah dikunci sebelumnya, tanpa ruang untuk menolak atau merevisi.

Namun demikian, bukan berarti gagasan co-management layak dibuang. Justru sebaliknya: ia harus diperjuangkan sebagai arah pembaruan tata kelola sumber daya. 

Tetapi prasyaratnya jelas dan tak bisa ditawar: pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat secara hukum, moratorium terhadap proyek yang belum memenuhi prinsip FPIC, pembagian keuntungan yang proporsional dan transparan, serta forum pengambilan keputusan yang inklusif dan deliberatif.

Pembangunan energi terbarukan tak bisa berjalan dengan cara-cara eksploitatif yang lama. Energi bersih harus dibarengi dengan politik yang bersih. 

Flores bukan sekadar wilayah eksplorasi; ia adalah rumah budaya, ruang spiritual, dan ladang pengetahuan lokal. 

Mengabaikan hal itu sama artinya dengan mereduksi pembangunan menjadi proyek teknokratis yang membunuh makna kehidupan komunitas.

Jika negara sungguh ingin menjadikan Flores sebagai ikon transisi energi, maka ia harus belajar dari Selandia Baru, bukan sekadar menirunya. 

Ia harus menata ulang relasi kekuasaan, membuka ruang partisipasi sejati, dan menempatkan masyarakat sebagai pemilik sah dari ruang hidupnya. 

Hanya dengan demikian, co-management bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar narasi.

Energi panas bumi memang menjanjikan. Tetapi lebih dari itu, keadilan sosial, penghormatan budaya, dan demokrasi lokal adalah energi sejati yang membuat pembangunan berakar dan berkelanjutan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved