Opini

Opini: Opini WTP vs Realitas Korupsi Pengelolaan Keuangan di NTT

Pada tahun 2017, menempatkan provinsi NTT pada peringkat 9 teratas provinsi yang paling banyak melakukan korupsi.

Editor: Dion DB Putra
SHUTTERSTOCK
ILUSTRASI 

Oleh: Wilhelmus Mustari, SE.,M.Acc
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unwira Kupang  - NTT

POS-KUPANG.COM - Berdasarkan data publikasi BPK RI dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester I tahun 2024 untuk LKPD tahun 2023, menunjukkan bahwa rata-rata pencapaian opini WTP pada Pemda provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia selama lima tahun terakhir (2019-2023) mencapai 90,56 persen. 

Sementara pemerintah daerah di provinsi NTT untuk periode yang sama  meraih opini WTP rata-rata sebesar 87 persen, dengan kata lain masih terdapat 13 persen yang mendapat opini non-WTP. 

Fakta ini diperkuat oleh temuan BPK perwakilan Provinsi NTT tahun 2023, terdapat 431 permasalahan dan 556 rekomendasi. Permasalahan signifikan yang ditemukan ini terutama pada aspek penganggaran, penyusunan laporan keuangan, pendapatan, belanja, dan aset.

Pencapaian opini WTP sebesar 87 persen tentu bukanlah capaian yang buruk. Namun, kondisi ini muncul ketika data ini dihadapkan dengan hasil pemetaan kasus korupsi yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 yang menempatkan NTT pada peringkat 3 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus korupsi terbanyak sebanyak 30 kasus. 

Fenomena ini sebenarnya sudah dapat dianalisis dari data publikasi ICW semester 1 tahun 2015, bahwa NTT menjadi salah satu provinsi dengan jumlah kasus tindak pidana korupsi terbesar di Indonesia. 

Pada tahun 2017, menempatkan provinsi NTT pada peringkat 9 teratas provinsi yang paling banyak melakukan korupsi.

Kemudian, pada semester pertama tahun 2021 menempatkan provinsi NTT tergolong 2 besar provinsi dengan kasus korupsi tertinggi (ICW, 2021). 

Untuk tahun 2024, provinsi NTT menempati peringkat 5 kasus, tetapi jumlah kasus korupsinya meningkat sebanyak 37 kasus (ICW, 2024). Bagaimana mungkin sebuah provinsi dengan persentase opini WTP yang cukup tinggi justru menempati peringkat teratas dalam kasus korupsi? Inilah realitas yang perlu kita pecahkan.

Memahami Opini WTP dan Keterbatasannya Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa, dalam hal ini BPK mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD). 

Opini WTP diperoleh jika telah memenuhi kriteria kesesuaian dengan SAP, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas SPI. 

Opini WTP menggambarkan kualitas tertinggi pengelolaan keuangan daerah dan hasil akhir proses pemeriksaan keuangan, selain pemeriksaan kinerja dan tujuan tertentu. Opini WTP dari BPK sebenarnya hanya menilai kewajaran penyajian laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. 

Artinya, BPK menilai apakah angka-angka dalam laporan sudah disajikan secara wajar dan sesuai standar, bukan menilai apakah uang rakyat telah digunakan secara ekonomis, efisien, dan efektif atau bebas dari praktik korupsi.

Di sinilah letak celah persoalan, sebuah daerah bisa saja memiliki administrasi dan pelaporan keuangan yang tertib, namun tetap melakukan praktik-praktik korupsi yang tidak terdeteksi dalam pemeriksaan reguler BPK. 

Praktik mark-up anggaran, kolusi dalam pengadaan, atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan secara rapi secara administratif bisa lolos dari radar pemeriksaan opini. 

Hasil pemetaan korupsi oleh ICW (2023 & 2024), menemukan beragam modus atau celah praktik korupsi, seperti penyalahgunaan anggaran, kegiatan/proyek fiktif, mark up, laporan fiktif, pungutan liar, penerbitan izin ilegal, pencucian uang, maupun menghalangi proses hukum.

Korupsi yang Semakin Canggih

Korupsi di era modern tidak lagi sebatas penggelapan langsung yang mudah terdeteksi, melainkan telah berevolusi menjadi praktik yang semakin canggih dan terselubung. 

Para pelaku korupsi kini memahami dengan baik celah-celah dalam sistem dan memanfaatkannya dengan tetap menjaga agar secara formal dan administrative semua tampak sesuai aturan.

Di NTT, fenomena ini terlihat dari tingginya kasus korupsi yang terungkap meskipun mayoritas Pemda telah mendapatkan opini WTP. 

Para pelaku korupsi tampaknya telah mahir dalam menyiasati sistem pengawasan dengan tetap menjaga agar laporan keuangan mereka tampak wajar dan sesuai standar. 

Misalnya, proyek fiktif dilengkapi dengan dokumentasi yang lengkap, mark-up anggaran dilakukan dengan perhitungan yang terlihat masuk akal, atau pengadaan barang/jasa diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak tertentu namun tetap tampak mengikuti prosedur formal.

Sistem Pengawasan yang Terfragmentasi

Persoalan ketiga terletak pada fragmentasi sistem pengawasan. BPK, sebagai lembaga yang memberikan opini WTP, memiliki keterbatasan dalam cakupan dan kedalaman pemeriksaan, terutama dalam pemeriksaan untuk tujuan opini. 

Sementara itu, pengungkapan kasus korupsi biasanya dilakukan oleh institusi lain seperti KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan yang memiliki pendekatan dan fokus berbeda.

Di NTT, fragmentasi ini berpotensi menciptakan celah pengawasan. BPK mungkin fokus pada aspek keuangan akuntansi dan pelaporan, sementara praktik korupsi yang sesungguhnya terjadi di luar radar pemeriksaan mereka. 

Kelemahan koordinasi antar lembaga pengawasan dan penegak hukum juga bisa menjadi faktor yang memperparah situasi. 

Peran pengawasan internal, seperti legislatif, inspektorat sangat krusial dan penting dalam melakukan pencegahan peluang korupsi, di samping partisipasi masyarakat dalam mendukung peran pengawasan.

Budaya Birokrasi dan Governance

Persoalan keempat berkaitan dengan budaya birokrasi dan governance. Opini WTP mungkin telah menjadi obsesi bagi pemerintah daerah agar mendapatkan dana insentif dari pemerintah pusat, namun seringkali tidak diikuti dengan perubahan mendasar dalam budaya organisasi dan tata kelola. 

Di NTT, hal ini tercermin dari tingginya angka opini WTP yang tidak berbanding lurus dengan penurunan kasus korupsi. 

Upaya perbaikan tata kelola belum sepenuhnya dijalankan, misalnya data hasil pemantauan tindak lanjut pada Pemda di Provinsi NTT sampai semester II tahun 2023 yang dipublikasi BPK perwakilan provinsi NTT, menemukan 8.159 temuan senilai Rp1,4 Triliun dengan jumlah rekomendasi 18.456, dan baru 69,80 persen rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti. 

Sedangkan sisanya belum ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah.  Pemda mungkin sangat fokus pada upaya untuk mendapatkan opini WTP dengan memperbaiki sistem administrasi dan pelaporan keuangan, namun tidak memberikan perhatian yang sama pada upaya membangun integritas dan budaya anti-korupsi dalam organisasi. 

Akibatnya, meski laporan keuangan tampak wajar, praktik-praktik korupsi tetap berlangsung dalam operasional sehari-hari.

Konsekuensi bagi Pembangunan NTT

Teka-teki pengelolaan keuangan di NTT ini memiliki konsekuensi serius bagi pembangunan daerah. 

NTT yang masih dihadapkan pada berbagai tantangan pembangunan, mulai dari kemiskinan, infrastruktur yang belum memadai, hingga akses terhadap layanan dasar membutuhkan pengelolaan keuangan daerah yang tidak hanya tertib secara administratif, tetapi juga berintegritas dan berorientasi pada hasil.

Setiap rupiah yang dikorupsi adalah rupiah yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat NTT. 

Dan ironisnya, korupsi ini terjadi di tengah gemerlap prestasi opini WTP yang seolah memberikan legitimasi bahwa pengelolaan keuangan di NTT telah berjalan dengan baik.

Strategi Pemecahan Masalah

Untuk memecahkan persoalan pengelolaan keuangan di NTT, diperlukan langkah-langkah komprehensif yang menyasar ke akar permasalahan:

1. Memperluas cakupan pemeriksaan BPK: BPK perlu memperluas cakupan pemeriksaan tidak hanya pada aspek administratif, tetapi juga pada efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) perlu diperkuat untuk mengidentifikasi potensi praktik korupsi.

2. Membangun sistem deteksi dini: Pemerintah daerah di NTT perlu membangun sistem deteksi dini terhadap potensi penyimpangan anggaran, misalnya melalui analisis data dan penerapan teknologi untuk mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan.

3. Memperkuat sistem pengendalian internal: Inspektorat daerah perlu diperkuat perannya sebagai garda terdepan dalam pencegahan korupsi, bukan sekadar formalitas administratif. Independensi dan profesionalisme aparat pengawas internal perlu ditingkatkan.

4. Meningkatkan transparansi dan partisipasi publik: Pemerintah daerah di NTT perlu membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengawasi penggunaan anggaran. Data keuangan daerah perlu dipublikasikan secara detail dan dalam format yang mudah dipahami oleh publik.

5. Membangun budaya integritas: Pemda di NTT perlu melakukan upaya sistematis untuk membangun budaya integritas dalam birokrasi, misalnya melalui internalisasi nilai-nilai anti-korupsi, sistem reward and punishment yang tegas, serta keteladanan dari pimpinan.

6. Memperkuat koordinasi antar lembaga: BPK, KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan institusi pengawasan lainnya perlu meningkatkan koordinasi dan berbagi informasi untuk menutup celah-celah pengawasan yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku korupsi.

7. Evaluasi terhadap sistem akuntabilitas: Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem akuntabilitas yang selama ini diterapkan, termasuk kembali memaknai opini WTP sebagai tahapan, bukan tujuan akhir dari pengelolaan keuangan yang baik.

Kesimpulan

Persoalan pengelolaan keuangan di NTT, di mana tingginya opini WTP tidak berbanding lurus dengan penurunan kasus korupsi menunjukkan bahwa kita perlu mereformulasi pemahaman tentang akuntabilitas keuangan daerah. 

Opini WTP seharusnya menjadi fondasi, bukan tujuan akhir. Setelah mendapatkan opini WTP, pemerintah daerah di NTT perlu melangkah lebih jauh untuk memastikan bahwa setiap rupiah anggaran benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.

Bagi masyarakat NTT, persoalan ini menjadi pengingat untuk tidak terlalu cepat berpuas diri dengan prestasi opini WTP. 

Masyarakat perlu tetap kritis dan aktif mengawal penggunaan anggaran daerah, serta mendorong pemerintah daerah untuk tidak hanya fokus pada aspek formal dan administratif, tetapi juga pada substansi dan integritas pengelolaan keuangan. 

Pada akhirnya, memecahkan persoalan pengelolaan keuangan di NTT bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi memerlukan keterlibatan seluruh komponen masyarakat. 

Hanya dengan komitmen bersama dan langkah nyata, NTT dapat keluar dari bayang-bayang tingginya kasus korupsi dan membangun tata kelola keuangan daerah yang berintegritas serta berpihak pada kesejahteraan rakyat. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved