Opini
Opini: Negara di Atas Kertas, Ironi Perlindungan Sosial di NTT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT juga menunjukkan tren positif, meningkat dari 68,40 pada tahun 2023 menjadi 69,14 pada 2024.
Oleh: Handri Ediktus
Tinggal di Komunitas Sekolastikat Hati Maria Kupang
POS-KUPANG.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menghadapi persoalan sosial yang kompleks, mulai dari kemiskinan struktural hingga keterbatasan infrastruktur dasar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, persentase penduduk miskin di NTT mencapai 19,02 persen atau sekitar 1,11 juta jiwa.
Meskipun terjadi penurunan dibandingkan Maret 2024 yang mencapai 19,48 persen, NTT tetap berada di peringkat ketiga sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT juga menunjukkan tren positif, meningkat dari 68,40 pada tahun 2023 menjadi 69,14 pada 2024.
Namun, capaian tersebut masih berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 74,39.
Ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan pun semakin mencolok: persentase penduduk miskin di wilayah perdesaan mencapai 23,02 persen, hampir tiga kali lipat dibandingkan wilayah perkotaan yang hanya sebesar 8,11 persen.
Di balik pencapaian angka-angka tersebut, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana kehadiran negara benar-benar dirasakan secara nyata oleh masyarakat?
Perbaikan indikator statistik tidak secara otomatis mencerminkan perbaikan kondisi kehidupan.
Ketika negara hanya hadir dalam bentuk angka dan dokumen, tetapi absen dalam perlindungan sosial yang nyata, maka keadilan sosial menjadi sekadar ilusi.
Secara administratif, masyarakat NTT memang tercatat sebagai warga negara. Namun, dalam kenyataannya, mereka masih mengalami keterbatasan dalam mengakses layanan dasar seperti air bersih, pendidikan, dan kesehatan.
Ironisnya, program bantuan sosial kerap kali tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Negara hadir melalui dokumen seperti KTP dan NIK, namun absen dalam menyediakan perlindungan sosial yang konkret.
Inilah paradoks besar dalam sistem perlindungan sosial di wilayah tertinggal: negara hadir di atas kertas, tetapi wujud nyatanya masih menjadi harapan yang belum sepenuhnya terwujud.
Ketimpangan Struktural dalam Perlindungan Sosial
Kegagalan perlindungan sosial di NTT tak lepas dari masalah struktural dan lemahnya tata kelola. Meskipun terdapat kerangka kelembagaan yang luas, hubungan koordinatif antartingkat pemerintahan masih belum berjalan optimal.
Di tingkat pelaksana, program-program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan disabilitas berjalan sendiri-sendiri, tanpa integrasi data dan membuat strategi bersama (Bappenas, 2024).
Fenomena ini menunjukkan bahwa yang dihadapi bukan semata kekurangan sumber daya, tetapi persoalan desain sistemik yang tidak mengutamakan kesederhanaan, kejelasan peran, dan kolaborasi antarpihak.
Bila pemerintah desa hanya berperan sebagai pelaksana administratif tanpa hadir langsung di lapangan dan tidak jeli untuk menilai siapa yang benar-benar layak dibantu, maka wajar jika muncul tumpang tindih bantuan dan ketimpangan distribusi.
Banyak pengalaman selama ini membuktikan bahwa ada keluarga yang menerima bantuan berlapis-lapis, sementara keluarga lain yang juga membutuhkan tidak mendapat kesempatan.
Ini tentu bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi cerminan dari sistem yang rusak, yang belum menempatkan warga sebagai pusat dari kebijakan sosial (Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi NTT, 2023).
Dampak Sosial: Dari Ketidakpercayaan hingga Konflik Komunitas
Kegagalan sistem ini berdampak lebih dalam daripada sekadar angka penerima bantuan yang tidak tepat sasaran.
Ketika bantuan tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan, kepercayaan masyarakat terhadap negara perlahan mengikis.
Muncul anggapan bahwa negara hadir semata untuk kepentingan politik atau pencitraan, bukan sebagai pelindung kesejahteraan sosial.
Di berbagai komunitas, distribusi bantuan yang tidak adil telah memicu ketegangan sosial dan konflik antarpribadi.
Ketika keluarga yang dinilai cukup sejahtera tetap menerima bantuan, sementara yang lebih membutuhkan tidak mendapat kesempatan, maka rasa ketidakadilan mulai muncul dan akhirnya komunitas masyarakat kecil terpeca-bela.
Bantuan yang seharusnya menjadi simbol solidaritas justru berubah menjadi
pemicu disintegrasi sosial.
Lebih dari itu, ketergantungan terhadap bantuan tanpa diiringi upaya pemberdayaan telah menumbuhkan mentalitas pasif dan menghambat daya kreativitas masyarakat.
Ketika distribusi bantuan terganggu, muncul kepanikan dan kehilangan arah. Ketahanan ekonomi lokal menjadi rapuh karena inisiatif pribadi tergantikan oleh harapan terhadap bantuan berikutnya.
Reformasi Perlindungan Sosial di NTT: Solusi untuk Perbaikan
Guna mengatasi situasi ini, dibutuhkan reformasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan sosial di NTT.
Salah satu langkah strategis adalah mendorong desentralisasi dan pembaruan data berbasis komunitas melalui pembentukan Tim Verifikasi Data Komunitas (TVDK) di tingkat desa.
Pendekatan partisipatif ini membuka ruang dialog, meningkatkan transparansi, serta memperkuat legitimasi penerima bantuan. Peningkatan kapasitas dan kesejahteraan pendamping sosial juga menjadi keharusan.
Pendamping bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan jembatan antara negara dan masyarakat.
Tanpa pelatihan, insentif, dan dukungan sistematis, mustahil peran ini dijalankan secara optimal, terutama di wilayah dengan tantangan geografis dan sosial seperti NTT.
Sistem pengaduan publik juga harus dibuat lebih aman dan responsif. Warga berhak menyampaikan keluhan tanpa takut akan tekanan politik lokal.
Mekanisme ini hanya akan efektif jika disertai dengan tindak lanjut yang nyata dan penuh keterbukaan.
Selain itu, program bantuan sosial perlu terintegrasi dengan inisiatif pemberdayaan ekonomi. Masyarakat membutuhkan akses pada pelatihan keterampilan, modal, dan pendampingan agar mampu bangkit secara mandiri.
Hanya dengan cara ini, siklus ketergantungan bisa diputus dan kemandirian masyarakat tumbuh secara berkelanjutan. Terakhir, audit sosial di tingkat lokal harus diperkuat.
Pelibatan perguruan tinggi, LSM, dan komunitas dalam pemantauan program akan membangun budaya kontrol sosial yang sehat serta memperkuat akuntabilitas publik.
Penutup
Situasi di Nusa Tenggara Timur menunjukkan adanya jurang lebar antara kehadiran negara secara administratif dan absennya dalam perlindungan sosial yang substansial.
Program sudah tersedia, kerangka kelembagaan telah terbentuk, namun pelaksanaan masih tersendat oleh masalah klasik seperti lemahnya koordinasi, fragmentasi kebijakan, dan rendahnya partisipasi warga.
Reformasi perlindungan sosial di NTT bukan sekadar isu teknis, tetapi merupakan tuntutan moral.
Negara tidak cukup hadir di atas kertas kehadirannya harus nyata dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah simbol tanpa makna sebuah negara yang hadir hanya sebagai nama, tetapi absen dalam tanggung jawabnya.
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Handri Ediktus
Opini Pos Kupang
Komunitas Sekolastikat Hati Maria Kupang
Program Perlindungan Sosial
Nusa Tenggara Timur
Opini: Temuan BPK 2024, Alarm Sistemik Korupsi Struktural Indonesia |
![]() |
---|
Opini: Nusa Tenggara Timur Menuju Swasembada Pangan |
![]() |
---|
Opini: Seni Berkarakter di Ujung Tanduk, Bakat Muda NTT Tenggelam dalam Arus Globalisasi |
![]() |
---|
Opini: Jebakan Passing Grade ASN, Bom yang Siap Meledak di Jantung Birokrasi Negeri |
![]() |
---|
Opini - Literasi Sains dan Kesadaran Isu Lingkungan di Kalangan Anak Muda |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.