Opini
Opini: Kebebasan Berpendapat Pasca Putusan MK
Putusan MK No.105/PUU-XXII/2024 merupakan buah dari gugatan yang diajukan aktivis lingkungan hidup, Daniel Frits Tangkilisan.
Oleh: Dr. Alfian Dj
Staf Pengajar Madrasah Muallimin Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap permohonan uji materiil Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang undang Nomor 1 Tahun 2024.
Putusan MK No.105/PUU-XXII/2024 merupakan buah dari gugatan yang diajukan aktivis lingkungan hidup, Daniel Frits Tangkilisan.
Mahkamah dalam amar putusannya menegaskan dua pasal dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya MK menyebutkan, kritik kaitannya dengan Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 merupakan bagian dari bentuk pengawasan, koreksi serta saran terhadap hal hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Pasal 27A berbunyi “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melaui sistim elektronik."
Sedangkan Pasal 45 ayat (4) berisi tentang hukuman pidana untuk pelaku pasal 27A dengan pidana 2 tahun atau denda Rp 400 juta.
Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa 'orang lain' dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat hanya bisa ditujukan kepada orang perseorangan.
Itu artinya, lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan tidak bisa melaporkan dugaan pencemaran nama baik.
Dalam negara demokrasi, kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Lahirnya putusan MK membawa angin segar terhadap alam demokrasi dalam kebebasan berpendapat.
Kritik yang ditujukan kepada lembaga atau instansi yang seharusnya bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Mahkamah konstitusi juga menegaskan terkait farasa “satu hal” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat 4 UU ITE juga berpotensi menimbulkan multitafsir apabila tidak dibatasi secara tegas.
Penggunaan frasa ‘satu hal” dalam konteks delik pencemaran nama baik juga dapat menimbulkan kerancuan antara perbuatan pencemaran nama baik dan penghinaan biasa padahal menurut MK hal tersebut merupakan dua delik yang berbeda.
Oleh karena itu frasa tersebut harus dimaknai sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan dan nama baik orang lain”.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.