Opini

Opini: Keluarga sebagai Teks yang Tak Pernah Selesai

Maka, istilah “keluarga” pun tidak memiliki makna tunggal; ia adalah konsep yang senantiasa dibentuk oleh narasi dominan.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Helga Maria Evarista Gero 

Oleh: Helga Maria Evarista Gero
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM -  Hari Keluarga Internasional, yang diperingati setiap tanggal 15 Mei, sering kali dirayakan dengan narasi-narasi idealistik tentang kebersamaan, harmoni, dan keteraturan hubungan domestik. 

Namun, dalam konteks masyarakat modern seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), keluarga tidak selalu hadir dalam bentuk normatif yang digambarkan oleh media atau kebijakan negara. 

Kita dapat melihat bahwa keluarga adalah sebuah teks—sebuah konstruksi diskursif yang terus ditulis ulang oleh dinamika politik, ekonomi, dan subjektivitas individu.

Post-strukturalisme mengajak kita untuk meragukan klaim bahwa makna, identitas, atau struktur keluarga bersifat tetap atau natural. 

Ia menolak esensialisme dan menunjukkan bahwa keluarga adalah arena pertarungan makna, di mana kekuasaan, gender, dan ketidakpastian hidup saling bertautan termasuk kompleksitas konsep keluarga di NTT.

Keluarga sebagai Entitas Stabil dan Natural?

Dalam pandangan umum, keluarga sering dianggap sebagai unit sosial alami yang memiliki struktur baku: ayah, ibu, anak, dengan peran yang jelas dan hierarki tertentu. 

Derrida (2016) menjelaskan bahwa makna tidak pernah stabil karena selalu berada dalam kondisi différance—tertunda dan bergantung pada relasi tanda yang dinamis. 

Maka, istilah “keluarga” pun tidak memiliki makna tunggal; ia adalah konsep yang senantiasa dibentuk oleh narasi dominan.

Di NTT, realitas migrasi tenaga kerja telah menciptakan situasi di mana anggota keluarga seringkali tidak tinggal dalam satu rumah selama bertahun-tahun. 

Ayah bekerja di luar daerah, ibu menjadi pencari nafkah utama, sementara anak-anak diasuh oleh kerabat jauh atau bahkan tetangga.

Situasi ini menegaskan bahwa keluarga bukanlah entitas fisik yang utuh, melainkan proyek moral dan emosional yang terus direproduksi meskipun secara geografis terpisah.

Foucault menambahkan bahwa konsep keluarga juga merupakan produk dari kekuasaan yang produktif. 

Negara, melalui kebijakan perlindungan keluarga, regulasi perceraian, atau program keluarga berencana, turut membentuk apa yang disebut “keluarga ideal”. 

Narasi ini kemudian menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk mengevaluasi apakah sebuah hubungan layak disebut “keluarga” atau tidak. 

Padahal, banyak bentuk keluarga yang hidup dan berfungsi dengan cara yang berbeda, namun tetap bermakna bagi para anggotanya.

Maka, pada Hari Keluarga Internasional 2025, penting untuk tidak hanya merayakan keluarga dalam bentuk normatif, tetapi juga memberi ruang bagi berbagai versi keluarga yang selama ini termarginalkan dari narasi dominan. Keluarga adalah teks yang terus berubah—dan itu sah-sah saja.

Subjektivitas Gender dan Performa Identitas dalam Dinamika Keluarga

Menurut Judith Butler, gender adalah performa—praktik berulang yang menciptakan ilusi stabilitas identitas. 

Dalam kerangka keluarga, hal ini berarti bahwa peran sebagai “suami”, “istri”, “ibu”, atau “kepala keluarga” bukanlah kodrat alami, melainkan hasil dari pengulangan norma-norma yang diatur oleh kekuasaan.

Di NTT, perubahan ekonomi dan mobilitas sosial telah mengubah pola interaksi gender dalam keluarga. 

Meskipun tidak menyentuh tradisi lokal, kita bisa melihat bagaimana perempuan semakin aktif dalam peran ekonomi dan publik, sementara laki-laki kadang tidak lagi menjadi pencari nafkah utama. 

Hal ini menciptakan gesekan dalam narasi maskulinisme yang selama ini mendominasi representasi keluarga. 

Namun, dalam gesekan itu justru terbuka peluang untuk melakukan subversi terhadap norma gender.

Butler menyebut bahwa perubahan tidak terjadi melalui penolakan frontal terhadap norma, tetapi melalui repetisi yang bermakna berbeda. 

Misalnya, seorang ibu yang bekerja di luar rumah bukan sekadar “menggantikan” peran suami, tetapi sedang menciptakan versi baru dari keibuan dan keperempuanan. 

Ini adalah bentuk resistensi lewat performa alternatif yang menantang hierarki kuasa dalam rumah tangga.

Namun, perlu dicatat bahwa kapitalisme juga ikut memproduksi jenis subjektivitas tertentu. 

Seperti yang dijelaskan oleh Rosi Braidotti (2013), dalam era pasca-human, individu sering kali diperlakukan sebagai agen produksi dan konsumsi, bukan sebagai subjek etis. 

Dalam konteks keluarga, ini bisa terlihat dari tekanan eksternal untuk mencapai standar ekonomi tertentu, yang kemudian memicu konflik internal dalam rumah tangga.

Oleh karena itu, penting untuk melihat keluarga sebagai medan pertarungan subjektivitas— tempat di mana makna gender, tanggung jawab, dan kepemimpinan terus dinegosiasikan. 

Pada Hari Keluarga Internasional 2025, mari kita lihat keluarga bukan sebagai arena reproduksi norma, tetapi sebagai laboratorium politik identitas dan emansipasi.

Etika Relasional dan Alternatif Politik dalam Rekonfigurasi Keluarga

Menurut Emmanuel Levinas, etika dimulai dari pengakuan terhadap kehadiran orang lain yang tidak dapat direduksi menjadi representasi atau kategori. 

Dalam konteks keluarga, ini berarti mengakui ‘keanehan’, ketidakpastian, dan kelemahan sebagai bagian integral dari hubungan manusia.

Di tengah fragmentasi struktur keluarga akibat migrasi, urbanisasi, dan perubahan ekonomi, banyak keluarga di NTT yang mencoba menciptakan bentuk-bentuk baru dari solidaritas dan tanggung jawab. Anak-anak diasuh oleh saudara sepupu, kakek nenek, atau bahkan tetangga.

Hubungan keluarga tidak lagi didasarkan pada garis keturunan biologis, tetapi pada komitmen emosional dan moral. 

Ini menegaskan argumen Rosi Braidotti (2013) bahwa subjek pasca-human lebih fleksibel, lebih inklusif, dan lebih sadar akan konektivitas antar hidup.

Selain itu, dalam dunia digital yang semakin mengglobal, komunikasi jarak jauh menjadi sarana untuk menjaga rasa kebersamaan. 

Meskipun virtual, hubungan tersebut memiliki efek material: uang kiriman, doa bersama via video call, hingga dukungan emosional yang tetap terjaga. 

Menurut Paul Virilio, kecepatan telah menggantikan kedalaman dalam pengalaman manusia modern, tetapi dalam konteks keluarga, kecepatan tersebut justru menjadi media penyelamat ikatan sosial.

Namun, kita juga harus waspada terhadap risiko individualisme digital yang menggerogoti solidaritas kolektif. 

Dalam kondisi seperti ini, keluarga bisa menjadi laboratorium etika alternatif — tempat di mana nilai-nilai kepedulian, kerja sama, dan kesetaraan bisa dikembangkan tanpa harus tunduk pada norma-norma hegemonik.

Maka, dalam rangka Hari Keluarga Internasional 2025, mari kita rayakan keluarga bukan sebagai institusi yang sempurna, tetapi sebagai proyek etis yang terus berkembang. 

Keluarga adalah tempat di mana kita belajar bertemu dengan ‘keanehan’, menghadapi ketidakpastian, dan membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru; bahwa makna keluarga tidak pernah selesai ditulis, tetapi selalu tersedia untuk ditulis ulang.

Artikel ini bukanlah klaim atas kebenaran tunggal tentang keluarga, tetapi ajakan untuk mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang sering kali kita anggap alami. 

Kita tidak hanya mengkritisi, tetapi juga membuka ruang untuk visi keluarga yang lebih inklusif, dinamis, dan etis. Selamat Hari Keluarga Internasional 2025. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved