Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 4 Mei 2025: Kami adalah saksi-Nya

Kawanan kecil yang ketakutan oleh drama salib itu, telah berubah menjadi saksi-saksi militan ulung yang sanggup menaklukan dunia. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Romo Leo Mali 

Oleh: RD. Leo Mali 
Rohaniwan dan Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM -  “Kami adalah saksi dari segalanya itu; Kami dan Roh Kudus yang dianugerahkan oleh Allah kepada semua orang yang menaati Dia.” (Kis. 5:32).

Demikian tegas Petrus di hadapan Imam Agung dalam Mahkamah Agama Yahudi. Kisah lengkapnya dapat kita baca dalam Kis. 5: 27b -32. 40b-41. 

Petrus sadar bahwa Penampakkan Yesus setelah kebangkitan (Yohanes 21:1- 14) tidak terjadi pada semua orang. Meraka adalah orang-orang terpilih. 

Pengalaman Petrus merupakan anugerah Roh Kudus, anugerah yang mengikatkan mereka kepadaketaatan untuk menjadi saksi tentang kebangkitan Kristus. 

Apapun resikonya. Kawanan kecil yang ketakutan oleh drama salib itu, telah berubah menjadi saksi-saksi militan ulung yang sanggup menaklukan dunia. 

Karena kesetiaan pada Kristus yangbangkit, para Rasul mengakhiri hidup mereka sebagai martir. 

Kemartiran para Rasul, termasuk Petrus dan Paulus di kota Roma, menandai seluruh sejarah kemartiran selama tiga abad pertama kekristenan di seluruh dunia. 

Persekusi baru berakhir dengan Edict Milan yang dikeluarkan oleh Kaisar
Konstantinus tahun 313. 

Dalam Annales buku yang ke XV dan paragraf yang ke 44dari Cornelius Tacitus, sejarawan Romawi (56-120 M) menghubungkan peristiwa kebakaran Kota Roma tanggal 18 Juli 64 dengan penganiayaan Kaisar Nero terhadap orang-orang Kristen. 

Demikian catatnya: “Nero menyalahkan orang-orang yang dibenci karena kejahatan mereka, yang disebut orang Kristen…Kristus, dari siapanama itu berasal, dihukum mati oleh Pontius Pilatus pada masa pemerintahan Tiberius.” 

Tacitus sendiri menyebut kekristenan sebagai superstitio extiabilis (Tahyul yang merusak). Jahatnya cap yang diberikan pada orang Kristen awal, telah menjadikan orang -orang Kristen sebagai sasaran kebencian seluruh kota. 

Pada masa ini, dua rasul utama Petrus dan Paulus mati dibunuh di kota Roma. Petrus mati disalibkan kepala ke bawah sekitar tahun 64-65 pada puncak penganiayaan Kaisar Nero. 

Makamnya kini ditemukan di bawah altar Basilika San Pietro Vatikan. Sementara itu Paulus mati dengan cara lebih terhormat dengan cara dipenggal kepalanya di sebuah daerah rawa-rawa yang dulu dikenal dengan nama Aqua Salvias tapi kini berganti nama menjadi tre fontane. 

Makam Petrus dapat ditemukan saat ini di bawah altar Basilika San Paolo fuori delle Mura. 

Persekusi umat kristen awal menjadi lebih sistematis pada masa Decius (249- 251). 

Karena semua orang dipaksa memiliki sertifikat penyembahan terhadap dewa-dewa. Dan penyiksaan paling brutal terjadi pada masa Diocletianus (303-311m). 

Sejumlah catatan para sejarawan Kuno mencatat bahwa penyiksaan awal itu menewaskan sekitar 100- 200.000 jiwa dalam wilayah kekaiseran Romawi. 

Tapi Tertulianus, seorang Bapa Gereja dan Apologet dari Kartago (sekitar abad 2-3 M) menulis dalam Apologeticum tentang tanggapan umat kristen awal akan pengalaman persekusi ini. 

Ia mencatat pernyataan orang Kristen awal mula: “ Plures ef icimur
quoties metimur a vobis: semen est sanguis christianorum” (setiap kali kami dibunuh oleh kalian kami bertambah banyak: darah orang Kristen adalah benih). 

Darah param artir yang telah menyerahkan hidupnya menjadi dasar pertumbuhan kekristenan awal yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. 

Bagaimana transformasi ini terjadi? Bagaimana para murid yang awalnya ketakutan dan bersembunyi dapat menjadi begitu militan? 

Kita lihat jawabannya pada Injil Yohanes 21:1-14. Setelah penyaliban, para nelayan itu kembali ke kehidupan lama. Mereka kehilangan arah dan tujuan hidup. Namun, Yesus yang bangkit hadir secara mengejutkan. 

Ia menunjukkan kuasa-Nya melalui hasil tangkapan yang melimpah. Ia menyapa mereka dengan hangat, menyediakan roti serta ikan. 

Perjumpaan ini bukan sekadar sebuah mukjizat biasa. Tapi ini meneguhkan kasih dan panggilanNya. 

Ia tidak menghakimi kegagalan mereka. Ia tidak berubah. Ia memulihkan mereka dengan kasih. 

Kepada Petrus, Ia memberi lagi kesempatan baru, setelah pengkhianatan di malam penghakiman (bdk.Yoh. 18:15-27). Ia bertanya : “Apakah engkau mengasihi Aku?” 

Tiga kali Yesus bertanya. Dan Yesus mengakhiri pertanyaan itu dengan kepercayaan: “gembalakanlah domba-dombaKu”. 

Kebangkitan dan penampakkan Yesus memulihkan kepercayaan Petrus dan para murid akan jati diri mereka. 

Mereka adalah orang-orang yang Ia kasihi. Ia tidak menghitung kegagalan mereka. 

Kasih yang sedemikian besar itu, begitu dahsyat , sanggup mengubah kawanan kecil yang ketakutan dan putus asa itu menjadi saksi-saksi yang militan. 

Mereka memberikan kesaksian tentang Kristus melalui hidup mereka. Di atas darah pengorbanan paramartir, darah mereka yang telah mempersembahkan hidupnya, kita mengenal Kristus Tuhan. 

Bagi Gereja sepanjang masa tetap berlaku hal yang sama bahwa Sanguis Martyrum, Semen christianorum: Darah para martir adalah benih bagi kekristenan.

Bagi kitapun hari ini tetap berlaku hal yang sama: kesaksian yang sejati hanyadapat tumbuh dari perjumpaan dan pengenalan akan Tuhan. 

Kalau anda ingin menjadi saksi terpercaya maka anda harus mengenal Kristus. Sudahkah anda mengenal Tuhan Yesus Kristus yang bangkit itu? (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved