Opini

Opini: Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua di Era Teknologi

Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Robertus Fidianto 

Oleh: Robertus Fidianto
PNS Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT

POS-KUPANG.COM -  Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). 

Tahun 2025 ini, peringatan Hardiknas  mengusung tema: “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” 

Tema ini menarik karena mengandung ajakan kolektif yang menyoroti pentingnya keterlibatan semua pihak baik pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dunia usaha, hingga masyarakat luas. 

Semua dipanggil untuk berkolaborasi mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat sekaligus mengajak seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkarakter, adil, dan relevan dengan tuntutan zaman.

Teknologi: Tantangan atau Peluang?

Kita hidup di era digital di mana kecanggihan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Big Data, dan pembelajaran daring telah menjadi bagian dari wajah baru Pendidikan kita. 

Kecanggihan teknologi telah menjadi salah satu tantangan pendidikan kita saat ini, disamping banyak tantangan lain seperti ketimpangan akses dan kualitas pendidikan, kualitas guru dan tenaga pendidik, infrastruktur dan sarana prasarana, pengembangan kurikulum yang relevan serta aneka tantangan lainnya.

Di satu sisi, teknologi menawarkan efisiensi dan akses yang luar biasa. Siswa kini bisa belajar dari mana saja, kapan saja, bahkan dari guru di belahan dunia lain.

Namun, teknologi bukan tanpa tantangan. Teknologi dalam dunia pendidikan ibarat dua sisi mata uang. 

Di satu sisi, ia membawa angin segar berupa kemudahan akses, metode pembelajaran yang lebih variatif dan interaktif, hingga efisiensi dalam administrasi pendidikan. 

Namun di sisi lain, penerapannya juga menimbulkan berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan. 

Dua tantangan utama yang paling menonjol adalah kesenjangan akses teknologi dan kesiapan guru.

Pertama, kesenjangan akses atau digital divide masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). 

Beberapa siswa di kota besar mungkin menikmati pembelajaran berbasis AI dan internet berkecepatan tinggi, namun di sisi lain, banyak siswa di desa-desa terpencil masih harus berbagi satu perangkat dengan beberapa anggota keluarga atau belajar dari modul cetak karena tidak ada sinyal internet.

Menurut laporan BPS dan Kemendikbudristek (2023), sekitar 23 persen satuan pendidikan di Indonesia masih belum memiliki akses internet yang layak, dan 18 persen guru tidak memiliki perangkat digital pribadi.

Kesenjangan ini berdampak langsung pada ketimpangan mutu pembelajaran. Kedua, transformasi digital dalam pendidikan menuntut guru untuk lebih dari sekadar mampu mengoperasikan teknologi. 

Mereka juga perlu memahami strategi pedagogi digital—bagaimana mengajar secara efektif dengan menggunakan teknologi, bukan sekadar mengganti papan tulis dengan slide PowerPoint atau video. 

Namun, tidak semua guru mendapatkan pelatihan yang memadai. Banyak guru, terutama dari generasi lebih senior, mengaku kesulitan beradaptasi dengan pembelajaran daring atau penggunaan Learning Management System (LMS). 

Bahkan, dalam survei Puslitjakdikbud (2022), hanya 45 persen guru yang merasa percaya diri dalam Menyusun pembelajaran digital yang interaktif.

Partisipasi Semesta: Kunci Utama

Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. 

Mulai dari cara guru mengajar, cara siswa belajar, hingga bagaimana materi disampaikan. Di tengah arus besar ini, pendidikan tidak lagi bisa ditopang hanya oleh satu dua aktor saja. 

“Partisipasi semesta” yakni keterlibatan menyeluruh dari berbagai elemen masyarakat menjadi kunci utama untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adaptif, inklusif, dan bermutu tinggi.

Pertama, Orang Tua: Pilar Pendampingan di rumah. Di era digital, peran orang tua meluas dari sekadar penyedia kebutuhan fisik menjadi mitra utama dalam proses belajar anak. 

Orang tua harus memahami bahwa gawai dan internet bukan hanya untuk hiburan, tapi juga sarana belajar. 

Maka, pendampingan menjadi penting terutama berkaitan dengan beberapa hal antara lain membatasi dan mengawasi penggunaan teknologi agar tidak disalahgunakan, membangun budaya belajar di rumah.

Seperti menyediakan waktu khusus belajar tanpa distraksi, serta menjadi fasilitator literasi digital, termasuk mengajarkan etika bermedia sosial dan sikap kritis terhadap informasi online.

Kedua, Komunitas lokal: Ruang Belajar yang hidup dan kontekstual. Komunitas lokal seperti kelompok pengajian, taman baca, bahkan warung kopi bisa menjadi wadah belajar non-formal yang relevan. 

Di sinilah siswa bisa belajar nilai-nilai kehidupan, praktik kewirausahaan, hingga keterampilan sosial seperti coding, desain grafis, atau produksi konten digital sederhana.

Ketiga, Pemerintah: Regulator dan Enabler Transformasi Digital. Pemerintah sebagai pengatur kebijakan tentu memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Pemerintah berperan dalam memberi jaminan perluasan infrastruktur digital. 

Hal ini bisa tergambar pada beberapa indikator antara lain ketersediaan internet cepat dan murah hingga ke daerah pelosok serta distribusi perangkat teknologi ke sekolah-sekolah yang belum memiliki sarana memadai. 

Selain itu, Pemerintah juga diharapkan bisa menyediakan ruang pelaksanaan pelatihan berkelanjutan terkait pembelajaran berbasis teknologi yang memberikan dukungan teknis agar guru tidak hanya mengikuti zaman, tetapi bisa memimpin perubahan.

Pendidikan Bermutu: Lebih dari Sekadar Nilai Akademik

Di atas semuanya, mesti tetap menjadi kesadaran kolektif bahwa pendidikan bermutu adalah pendidikan yang memanusiakan. 

Ia bukan hanya soal nilai ujian yang diraih, tetapi juga tentang menumbuhkan empati, kerja sama, kreativitas, dan tanggung jawab sosial. 

Teknologi harus menjadi alat bantu untuk menguatkan nilai-nilai tersebut bukan menggantikannya.

Guru masa kini ditantang untuk menjadi fasilitator dan mentor yang mampu membimbing peserta didik menghadapi dunia yang terus berubah. 

Sementara peserta didik perlu dilatih menjadi pembelajar seumur hidup, adaptif, dan kritis terhadap arus informasi.

Hardiknas 2025 bukan sekadar seremoni, tetapi momentum reflektif: Apakah pendidikan kita sudah inklusif? 

Sudahkah teknologi digunakan untuk mempersempit ketimpangan, bukan memperlebar jurang? Mari jadikan momen ini sebagai semangat baru. 

Dengan partisipasi semesta, kita semua bisa menjadi bagian dari perubahan.  Karena pendidikan yang bermutu untuk semua bukan hanya mimpi, melainkan komitmen bersama.(*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved