Opini
Opini: Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan di NTT, Belajar dari Paus Fransiskus
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya dan subur akan sumber daya alamnya, namun mengapa masih ada kemiskinan ?
Oleh: Leonardo A.L.Dhei
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang
POS-KUPANG.COM - Jika kita berbicara tentang ketimpangan sosial dan kemiskinan di Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur, maka tidak akan ada habisnya.
Masalah ini terus diupayakan solusinya, namun tetap saja ada kemiskinan dan disinyalir makin meningkat.
Lalu bagaimana caranya memberantas atau setidaknya mengurangi ketimpangan sosial dan kemiskinan di Indonesia khususnya di NTT?
Di zaman yang sudah maju akan teknolgi dan sumber daya manusia, mengapa masih banyak masyarakat NTT yang mengeluh serta mengkhawatirkan akses terhadap air bersih dan pangan, jaminan sosial, dan jaminan kerja.
Adapun kondisi ketimpangan sosial dimana ada perbedaan atau ketidakadilan terhadap sumber daya, kesempatan dan hak-hak sosial. Seperti dari segi aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan dan status sosial.
Belajar dari Paus Fransiskus, dari awal kepausannya, ia amat menekankan perhatian terhadap kemiskinan, keadilan sosial, pendidikan bagi orang miskin dan perhatian kepada mereka yang tersingkirkan.
Ajaran beliau sangat menyentuh seluruh aspek secara spesifik spiritual, moral, dan sosial.
Hal ini dapat menjadi usulan yang sangat baik bagi pemerintah pada era sekarang baik regional dan nasional untuk membuat suatu berubahan.
Penyebab dan Dampak Ketimpangan Sosial
Telah bertahun-tahun Indonesia terkungkung dalam masalah sistem ekonomi yang tidak adil.
Kapitalisme yang semakin tak terkendali dapat memperkaya segelintir orang saja.
Sementara itu kaum mayoritas tetap terbekap di dalam kemiskinan, hingga membuat mereka tak mampu untuk mengakses pendidikan dikarenakan biaya yang terlampau mahal.
Jangankan untuk pendidikan, biaya kehidupan sehari-hari pun harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup yang secara implisit ditindas oleh kaum kapitalis yang hendak menjustifikasi agar menguasai saham ekonomi pasar, yang harganya mengekang kehidupan kaum miskin.
Terlebih khusus di NTT, banyak dari sebagian warganya yang terkena kasus stunting dikarenakan gizi yang buruk, kurangnya akses air bersih (layak untuk diminum), dan pola asuh yang kurang tepat.
Dalam ensiklik Paus Fransiskus (Delexit Nos Bab 1 No.12) menegaskan bahwa kita memiliki hati.
Bahwa hati kita hidup bersama dengan hati yang lain yang membantu hati kita menjadi “kamu”.
Sebagai warga negara Indonesia yang hidup di NTT serta berpedomankan Pancasila, di manakah letak suara sila ke-5 yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Di mana semangat gotong royong yang tidak hanya mementingkan diri sendiri?
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya dan subur akan sumber daya alamnya, namun mengapa masih ada kemiskinan?
Rilis dari KEMENPAN (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) September 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 24,06 juta orang, menurun 1,16 juta orang dibandingkan Maret 2024.
BPS Provinsi NTT merilis data statistik kemiskinan pada September 2024 sebesar 1,11 juta orang, menurun 19,063 orang. Tidak tertutup kemungkinan jumlah orang miskin meningkat jika program makan bergizi gratis membebankan APBN dan mengganggu alokasi dana untuk program pengentasan kemiskinan lainnya.
Sebut misalnya pemberdayaan ekonomi dan Pendidikan. Ada pula dampak negative lainnya yaitu ketergantungan masyarakat pada program makan bergizi gratis, melemahkan SDM yang membuat sebagian warga hanya berpangku tangan menanti bantuan dari pemerintah.
Tak ada dorongan untuk meningkatkan pendapatan sendiri. Inilah yang membuat kaum kapitalis semakin berkuasa dan menindas masyarakat yang lemah dari aspek ekonomi.
Program makan bergizi gratis pun berpotensi terjadi penyalahgunaan jika tidak ditangani dengan baik dan dalam pengawasan yang ketat.
Perlu suatu revolusi mindset di dalam msyarakat NTT agar keluar dari zona kemiskinan yang terus bergerak secara problematis.
Bertolak dari Paus Fransiskus yang tidak sekadar mengajarkan kemiskinan tetapi ia juga sangat menghidupi dan menghayati kemiskinan.
Gaya dan corak hidupnya mencontohi nilai-nilai Injili yaitu kesederhanaan, pelayanan, dan memupuk solidaritas besama kaum kecil. Ketika ia terpilih sebagai Paus, ia memilih nama Fransiskus yang hidup sederhana.
Kemiskinan bukanlah takdir tetapi bagaimana setiap orang perlu daya juang, belajar meningkatkan keterampilan baru agar bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri.
Jangan pernah menanamkan sikap dan mentalitas menunggu bantuan tanpa adanya upaya meningkatkan penghasilan sendiri, karena bantuan itu sifatnya temporal, yang terutama adalah mencari jalan keluar agar bisa mandiri secara ekonomi.
Oleh sebab itu pemerintah perlu membuka sekolah gratis. Mengapa? Karena pendidikan adalah investasi besar menuju masa depan yang cerah.
Jika masyarakat terdidik secara baik dan bermutu maka akan terbentuk pola pikir visioner untuk memajukan diri sendiri, sosial dan negara.
Kemiskinan Sebagai Produk Kapitalisme
Di era yang semakin maju dengan perkembangan teknologi yang pesat ini dikhawatirkan makin banyak pengangguran.
Contoh di Jepang, Amerika dan negara-negara maju lainnya, merancang robot yang memiliki sistem atau pola pikir yang sama seperti manusia agar dapat dipekerjakan untuk menggantikan tenaga kerja manusia.
Jika hal ini terus berkembang 30-50 tahun kedepan, maka disinyalir semakin banyak manusia yang menjadi pengangguran.
Problem ini bisa menjadi kesempatan oleh kaum borjuis untuk mempekerjakan tenaga manusia dengan harga murah, karena sulitnya lapangan pekerjaan yang mau tidak mau manusia harus tetap bekerja demi kebutuhan hidup.
Hal ini pun menciptakan ketimpangan ekonomi yang akan terus berlanjut.
Menurut Paus Fransiskus “kemiskinan di dunia merupakan skandal. Dalam dunia yang kaya ini, tidak masuk akal begitu banyak orang yang masih kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal dan pengangguran.
Ini merupakan kata yang cocok jika dipakai untuk sindiran bagi para kaum kapitalis, mengapa?
Karena begitu kayanya alam dan suburnya tanah yang ada di NTT serta berbagai jenis budidaya baik dari sektor perikanan, pertanian, dan kehutanan yang kaya, tetapi mengapa masih banyak orang yang miskin dan terlantar serta hidup di perkampungan kumuh yang jauh dari kata layak.
Orang-orang inilah yang membutuhkan perhatian dari pemerintah agar mengeluarkan mereka dari zona kemiskinan.
Wajah Para Buruh di NTT
Pada saat ini ada sebagian para buruh di NTT mengalami keterasingan dari hasil kerjanya.
Pertama, upah yang tidak sesuai dengan hasil kerja. Kedua, proses produksi yang membuat pekerjaan menjadi uniform dan mekanis.
Ketiga, sesama pekerja ada persaingan ketat yang disebabkan oleh kompetisi, hal yang paling terlihat adalah ketika di suatu perusahaan besar ada strata atau pangkat.
Contoh jika seorang itu bekerja secara baik dan benar maka akan makin mudah buat seorang itu untuk naik pangkat dan mendapatkan kenaikan gaji yang signifikan.
Ini juga dapat menimbulkan persaingan dan konflik antara proletar baik secara sehat atau pun tidak, hal ini disebabkan oleh kendali sistem kapitalis.
Hal positifnya orang memiliki daya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
Dampak negatifnya orang menjadi mudah pesimis bila menghadapi kegagalan dan saling menjatuhkan di dalam pekerjaannya.
NTT merupakan salah satu provinsi yang memiliki banyak pulau dan sulit untuk dijangkau, hal ini dapat mempersulit akses terhadap ekonomi, pendidikan, dan informasi.
Terlebih khusus dalam sektor pertanian atau perkebunan, seringkali mengalami kesulitan serta terisolasi secara fisik dan sosial.
Tingkat pendidikan di NTT pun masih rendah. Contoh konkretnya masih banyak anak-anak yang belum tahu membaca.
Dilansir dari kompas.id dari total 5.215 SD, hanya 1.381 yang masuk kategori baik dalam capaian literasi, sementara 2.184 sekolah berada dalam kategori rendah.
Hal ini berdampak pada terbatasnya akses kerja formal, kerja di lingkup suwasta lainnya, dan sulit beradaptasi atau pun mendapat kerja modern.
Paus Fransiskus mengecam berat “eksploitasi manusia”, mengapa?
Karena “eksploitasi terhadap manusia adalah dosa berat terhadap nilai dan martabat manusia yang diciptakan menurut Imago Dei.
Baginya sistem ekonomi yang mengejar keuntungan tanpa memperhatikan manusia seringkali ketidakadilan dan memperdaya orang miskin.
Pertanyaan fundamental bagi kita, di manakah letak keadilan yang sebenarnya harus dijunjung tinggi di negara yang berstatuskan demokrasi dan berideologikan Pancasila?
Kesimpulan
NTT adalah salah satu provinsi yang kaya dan indah akan sumber daya alamnya yang sebenarnya berpotensi menjadi provinsi yang sangat berkembang bahkan provinsi yang mandiri.
Bermacam-macam suku, bahasa, agama, budaya, serta adat istiadat bukanlah menjadi penghalang untuk terpisah atau memberi distingsi satu sama lain, malahan hal ini merupakan sistem atau komponen yang mestinya berkomplementer, untuk memperkaya masyarakatnya.
Pemerintah harus pula meperhatikan pemerataan kesempatan kerja, peningkatan UMR, mendukung UMKM, subsidi dan bantuan sosial tepat sasaran.
Adapun yang perlu diubah, yaitu mindset dengan memberikan akses pendidikan gratis dan bermutu tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomi, meningkatkan kinerja guru dalam menanamkan pendidikan di NTT. Hal ini perlu adanya tanggapan yang serius dari pihak pemerintah.
Salah satu solusi adalah pajak yang lebih tinggi bagi oreng kaya agar mendanai program sosial untuk warga yang miskin.
Dengan begitu ada suatu kesejahteraan dan kesetaraan antara makhluk sosial yang sifatnya saling membutuhkan.
Pesan akhir dari Paus Fransiskus yang perlu kita perhatikan bersama.
Pertama, pentingnya peduli pada orang miskin dan jangan memandang hal itu sebagai “masalah”, tetapi sebagai subjek yang harus dibantu dan diberdayakan, bukan dikasihani.
Kedua, “Inequality is the root of social evil” jika ketimpangan sosial ini terus mengakar dalam lingkup masyarakat terus menerus maka ketimpangan yang ekstrem akan membentuk suatu ketidakadilan yang membahayakan untuk perdamaian dan keharmonisan masyarakat sosial.
Ketiga, ia mendorong seluruh umat manusia untuk merancang dan membangun budaya solidaritas, menolong sesama, dan mengutamakan bonum commune, bukan propium commodum quaerere atau kepentingan yang lebih mengedepankan egoistis diri melulu. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.