Opini

Opini: Makan Bergizi Gratis dan Potensi Mundurnya Pemajuan Kebudayaan

Saya teringat kata-kata Tan Malaka, orang Indonesia harus lebih banyak baca, bila perlu makan dikurangi! 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Antonius Rian 

Oleh: Antonius Rian
Alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Fasilitator Sekolah Lapang Kearifan Lokal di NTT dan tim peneliti pada Tena Pulo Research. 

POS-KUPANG.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah masuk ke sebagian besar wilayah Indonesia. 

Kehadiran program ini menuai kontroversi. Di Yahukimo Papua, para pelajar dari SD-SMA melakukan demo damai menolak MBG karena tidak sesuai dengan kebutuhan urgen para pelajar. 

Mereka justru lebih membutuhkan sekolah gratis, mereka butuh asupan otak bukan perut. 

Hal ini memang wajar dan bisa berterima sebab tanah Papua terkenal dengan kekayaan sumber pangannya. 

Lalu mengapa negara harus memaksa untuk mendatangkan makanan di tempat yang sudah kaya raya dengan makanan? Apakah lebih baik negara mendatangkan banyak buku bacaan ke Papua daripada makanan? 

Saya teringat kata-kata Tan Malaka, orang Indonesia harus lebih banyak baca, bila perlu makan dikurangi! 

Hal berbeda terjadi di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, di salah satu sekolah di Kabupaten ini, justru menu makanannya basi sehingga bisa menyebabkan sakit perut bagi para pelajar (suluhnusa, 25/2/25). 

Selain menu yang basi, menurut penjelasan salah satu fasilitator Badan Gizi Nasional Kabupaten Lembata bahwa petani Lembata tidak bisa memasok pisang yang dibutuhkan sehingga pihak penyedia terpaksa mendatangkan pisang dari luar Lembata (suluhnusa, 24/2/25). 

Pola kerja seperti ini menuai protes warga karena faktanya Lembata kaya pisang. 

Lalu orang mulai bertanya, MBG untuk siapa? Apakah ada kepentingan bisnis di balik MBG? Dimana peran warga lokal?

Menu Makan Bergizi Gratis

Program yang menggelontorkan anggaran triliunan rupiah ini bisa berdampak massif untuk masyarakat akar rumput jika pemerintah daerah berpikir kreatif dan inovatif sesuai dengan konteks di daerahnya. 

Hal ini mesti didukung pula oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah secara otonom mengatur lalu lintas MBG di daerahnya.

Hal yang penting adalah MBG bukan hanya untuk para pelajar melainkan juga untuk meningkatkan ekonomi warga lokal. Masyarakat lokal di daerah mesti mendapat dampak positif dari program MBG.

Mereka mesti didorong dan diberdayakan agar bisa menjadi penyedia pangan lokal di masing-masing daerah. 

Artinya, MBG tak boleh seragam, tak boleh semua daerah diharuskan untuk konsumsi nasi sebab masing-masing wilayah punya karakter budaya makan yang berbeda.

Anjuran seperti ini mesti juga dipertimbangkan oleh Badan Gizi Nasional. Menu yang disiapkan mesti sesuai dengan potensi daerah, misalnya, jika di sebuah daerah kaya akan ikan, maka para pelajar di daerah tersebut tak boleh dipaksakan untuk mengonsumsi daging ayam. 

Sebab jika menu seragam, maka warga lokal, misalnya para nelayan tidak akan mendapat dampak positif dari program ini. 

Sebaliknya yang diuntungkan adalah pengusaha-pengusaha tertentu. Namun, untuk lebih adil, menu MBG mesti beragam, misalnya selama seminggu bisa dibagi jadwal konsumsi ikan dan daging ayam atau daging yang lain, sehingga warga lokal tidak dikesampingkan dari program ini.

Hal lain misalnya, selama seminggu dibagi jadwal konsumsi nasi dengan pangan lokal misalnya ubi, sorgum, pisang dan lain-lain; tak perlu setiap hari harus nasi atau harus buah yang didatangkan dari luar daerah. 

Dengan mengggunakan pola pikir dan pola kerja seperti ini, progam MBG akan berdampak luas bukan hanya untuk sekolah melainkan juga untuk ekonomi warga yang ada di daerah bersangkutan.

Pemajuan Kebudayaan

Idealnya sebuah program dilahirkan mesti berkaca pada program sebelumnya. Demikianpun MBG. Pada masa pemerintahan Jokowi, ada satu program pemajuan kebudayaan yakni Sekolah Lapang Kearifan Lokal. 

Program ini dilakukan oleh Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.

Fokus dari program ini yakni mendata 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan yang salah satunya berkaitan dengan pangan lokal di daerah-daerah. Antusiasme pemerintah dan warga NTT misalnya sangat positif menyambut program ini. 

Warga diedukasi, didorong untuk kembali membudidayakan dan mengonsumsi pangan lokal tanpa bergantung pada beras Jawa atau Sulawesi. Selain warga biasa, program ini juga telah masuk ke seolah-sekolah.

Setelah pergantian kekuasaan, idealisme Pemajuan Kebudayaan ini dipertanyakan apalagi jika berbenturan dengan program MBG yang lebih mengutamakan nasi daripada pangan lokal setiap daerah.

Oleh karena itu, program ini mesti mendorong kolaborasi ide, program terdahulu dan sekarang. 

Pemerintah Daerah mesti membangun jejaring yang kokoh untuk melihat keberlanjutan program Pemajuan Kebudayaan dengan MBG.

Untuk itu, ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, MBG harus beragam dan sesuai konteks daerah. 

Di sini pangan lokal milik warga mesti diberi tempat layak bukan menu yang didatangkan dari luar daerah. 

Kedua, pemerintah daerah mestimelakukan sosialisasi kepada masyarakat agar bisa menyiapkan pangan lokalnya demi mendukung MBG. 

Hal ini penting karena dampak inferioritas masih sangat terasa. Masyarakat lokal merasa rendah diri, malu atau tidak percaya diri mengonsumsi pangan lokalnya; akibatnya pangan lokal justru dijadikan makanan untuk ternak.  Hal ini juga berdampak pada tidak lakunya pangan lokal di pasaran.

Untuk mengubah kebiasaan salah seperti ini, maka pemerintah harus berkaca pada program Sekolah Lapang Kearifan Lokal. 

Sosialiasi mesti dijalankan untuk menyadarkan warga lokal tentang potensi pangan dan keberlanjutan ekonomi melalui program MBG

Hal ini membutuhkan kerja sama juga dengan Pemerintah Desa sebab warga lokal yang punya pangan lokal ada di Desa-desa.

Ketiga, para penyedia jasa atau vendor yang bekerja sama dengan pemerintah mesti juga diperiksa cara kerjanya agar tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga bekerja sama dengan warga lokal. 

Vendor tak boleh semata berorientasi kapital untuk kepentingan bisnis tetapi mesti paham bahwa program MBG adalah program negara maka mesti ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui kerja-kerja kolaboratif dengan warga lokal di daerah bersangkutan.

Jika pemerintah, vendor dan warga lokal sudah memiliki satu pikiran yang sama, maka, MBG akan relevan dan berdampak luas untuk seluruh lapisan masyarakat.

Pewarisan Budaya Pangan

Mengapa harus pangan lokal? Ada tiga hal yang bisa menjadi jawaban. Pertama, nilai ekonomis. MBG dengan menggunakan pangan lokal, maka ada nilai ekonomis yang menyasar warga lokal. 

Keadilan ekonomi bisa relevan dalam konteks ini. Kedua, nilai gizi. Tak perlu dibantah lagi bahwa pangan lokal adalah pangan yang sehat dan kaya gizi. 

Sejak ribuan tahun, nenek moyang bangsa ini mengonsumsi pangan lokal untuk bertahan hidup tanpa terkontaminasi dengan stunting dan lain-lain. 

Bahkan hingga kini, masyarakat adat masih yakin pada kualitas gizi pangan lokal. Justru karena itu, program Sekolah Lapang Kearifan Lokal getol mempromosikan potensi pangan lokal untuk dibudidayakan lagi dan dikonsumsi warga.

Ketiga, identitas budaya. Pangan lokal adalah bagian dari identitas budaya yang beragam di Indonesia, misalnya orang Papua dan Maluku terkenal dengan sagunya, orang NTT dengan umbi-umbian dan jagung juga di daerah-daerah lain. 

MBG dengan mengonsumsi pangan lokal membangkitkan kembali rasa cinta para pelajar terhadap pangan lokal sebagai bagian dari identitas budayanya juga sebagai strategi melawan inferioritas pangan lokal. 

Artinya, selain konsumsi, para pelajar juga sekaligus belajartentang budaya pangan. Perut diisi, otakpun diisi.

Melalui MBG, kita mendorong agar ada keberlanjutan program Pemajuan Kebudayaan agar tidak mubazir. Apa yang kita makan adalah apa yang kita tanam di tanah kita!

Jika tiga hal ini tidak dipikirkan oleh pemerintah, maka MBG yang diongkos dengan biaya triliunan rupiah hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu dan berpotensi tidak produktif. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved