Paskah 2025

Refleksi Jumat Agung - Mengapa Tuhan Harus Menderita?

Mungkin sampai hari ini, masih ada banyak orang yang tetap bertanya, mengapa Yesus harus menderita?

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
FIDEL WOTAN - P. Dr. Fidel Wotan, SMM menulis Renungan Harian Katolik Refleksi Jumat Agung, Mengapa Tuhan Harus Menderita? 

Dialah yang menghubungkan mereka dengan Bapa-Nya. Dia mengenal mereka satu persatu karena sudah diuji iman dan kesetiaan serta ketaatan-Nya pada Allah dan bahkan menderita lebih hebat dari orang lain (bdk. Ibr 4:14-16).

Melalui sengsara dan kematian-Nya, Yesus ingin mengajak seluruh umat Kristiani agar bersama Ibu-Nya yang tercinta, Maria yang Berdukacita (Mater Dolorosa) terus belajar tegar dan teguh di dalam memikul salib mereka dan mau menderita bersama-Nya (bdk. Yoh 19:25-27). Sebab ramalan Simeon pada Maria tentang sebilah pedang akan menembus jiwanya (Luk 2:35), kini benar-benar terjadi. 

Sebagai seorang ibu, Maria harus menyaksikan dan mengalami sendiri dari dekat jalan salib Putranya itu. Saat ini, Maria tidak lagi melihat Putranya tampil gagah perkasa. Ia pun tidak lagi memandang buah hatinya itu, yang dengan kecerdasannya selalu mengajarkan cinta dan kebaikan Allah bagi manusia. 

Kini, sang Bunda pun tidak lagi menyaksikan dari dekat mukjizat demi mukjizat hebat yang pernah diperlihatkan oleh Putranya tercinta itu (bdk. Yoh 2:1-11). Saat ini pun Maria tak lagi memandang Putranya tampil bak “Pangeran Cinta” yang dipuji dan disanjung-sanjung para pengikut-Nya. 

Semuanya berubah total menjadi hening, sepi. Kini, ia hanya melihat si buah hatinya berjalan tertatih-tatih menyusuri lorong-lorong penuh penderitaan menuju Kalvari. Dalam diam dan heningnya, ternyata sang Bunda menyimpan semuanya dan merenungkannya.

Lalu apakah yang masih tersisa? Yang tersisa hanyalah “iman dan pengharapan serta kasih seorang ibu pada Putranya sampai di bawah kaki salib-Nya”. 

Penginjil Yohanes mengatakan: Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai”. Lalu ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh 19:30). 

Dengan ini, maka selesailah jalan-jalan penderitaan Yesus dan Ibu-Nya memandang semuanya itu dengan hati keibuan dan merenungkannya. 

Salib: Medan Transformasi Diri Di hadapan Allah

Menurut St. Montfort, makna terdalam panggilan hidup seorang pengikut Kristus hanya bisa diverifikasi dalam dan melalui identifikasi dirinya dengan “Yesus yang menderita”. 

Kesempurnaan seorang pengikut Kristus justru terletak dalam aspek ini: “memikul salib dan menyangkal diri”. Ia berkata: seluruh kesempurnaan Kristiani terdiri dari: keputusan untuk menjadi seorang suci: ....,  mengingkari diri: ia harus menyangkal dirinya; rela menderita: memikul salibnya; mau bertindak dan mengikuti Aku (Mat 16:24; Luk 9:23; Surat kepada Sahabat-sahabat Salib [SSS] 13). 

Dengan berkata demikian, St. Montfort hendak menekankan agar setiap murid Kristus berani mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh Tuhan sendiri. Dalam hal ini, ia menantang setiap orang Kristiani untuk merumuskan ulang hakekat kemuridannya. 

Orang kudus ini menulis: Tidak seorang pun diakui sebagai anak-Nya, kecuali kalau ia ditandai oleh salib. Tidak seorang pun diakui sebagai murid-Nya, kecuali kalau ia membawa salib pada dahinya tanpa malu, dalam hatinya tanpa menolaknya, pada bahunya tanpa menyeretnya atau berusaha melepaskannya (Cinta dari Kebijaksanaan Abadi [CKA]  173).

Seruan St. Montfort ini dapat menghentak kesadaran manusia Kristiani kontemporer untuk melihat kembali identitas kemuridan di hadapan-Nya, malahan dapat menjadi sebuah kritikan bagi mereka yang belum menghayati panggilannya sebagai pengikut Kristus.

Dengan kata lain, bobot kemuridan dan kelayakan identitas seorang pengikut Yesus harus didasarkan pada wilayah tersebut. Di sinilah setiap orang Kristen dapat menjadi manusia baru. 

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved