Cerpen

Cerpen: Mencintaimu dalam Sunyi

Di balik gerbang itu, tinggal seorang wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan cinta.

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Marsel Koka*

POS-KUPANG.COM - Senja mulai tenggelam ketika Herman berdiri di depan gerbang sebuah bangunan tua yang megah. 

Angin sore menyapu lembut wajahnya, membawa aroma kenangan di masa lalu.

Dia sendirian tanpa ditemani siapa-siapa. Hanya wajahnya yang sedikit cemas bercampur sedikit ceria matanya serta di depannya berdiri tembok tebal yang sulit dijangkau.

Di balik gerbang itu, tinggal seorang wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan cinta. 

Lea, namanya. Lea adalah wanita yang sering membuatnya rindu tiba-tiba.

Ya, tujuh tahun lalu, Herman dan Lea adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. 

Mereka bertemu di sekolah, dan seketika, dunia menjadi milik berdua.

Namun, jalan hidup membawa mereka pada persimpangan yang tak berujung. Lea, dengan panggilan hatinya yang kuat, memutuskan untuk mengabdi di jalan sunyi, di balik tembok biara.

Sedangkan Herman menjadi seorang guru namun dengan susah payah mengajarkan hatinya untuk merelakan Lea, sambil pada saat yang sama berusaha untuk berdamai dengan perasaannya walau sulit.

Herman ingat hari ketika Lea memberitahunya keputusan itu. "Aku harus mengikuti panggilan ini, Herman. Tapi cintaku padamu takkan pernah pudar,"  katanya dengan mata berkaca-kaca.

Ah saat itu, Herman seperti disambar petir. Baginya, Lea sungguh egois. 

Beberapa hari setelahnya Herman bahkan pernah menulis begini: “Untukmu yang sudah memutuskan pergi, berdamailah dengan sunyimu. Akan kurapihkan hatiku yang kautinggal berantakan”.

Sore ini, Herman datang untuk memenuhi janji yang pernah ia buat. Ia ingin melihat Lea sekali lagi, ya meskipun hanya dari kejauhan.

Dengan langkah mantap, ia mendekati gerbang dan memencet bel tiga kali.

Tangannya gemetar dan gugup tak karuan. Tiga menit berselang, seorang perempuan muda datang menyambutnya.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya lembut.

"Saya ingin bertemu dengan Suster Lea, kalau boleh,"  jawab Herman. Biarawati itu tersenyum mengerti. 

"Silakan tunggu di sini, saya akan memanggilnya."

Tak lama kemudian, Lea muncul dengan wajah yang masih sama seperti yang Herman ingat. 

Tenang dan meneduhkan. Hanya ada pagar besi yang memisahkan mereka, namun mata mereka berbicara lebih dari kata-kata.

"Herman," sapa Lea dengan suara lembutnya yang khas.

"Lea,"  balas Herman, menahan emosi yang bergolak di dadanya. 

"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."

Lea tersenyum, sebuah senyuman yang penuh kedamaian. "Aku baik, Herman. Hidupku di sini bahagia bahkan lebih dari bahagia."

Mereka berbicara sebentar. Menceritakan hidup masing-masing. Tak ada kesedihan, hanya kehangatan dari kenangan yang masih tersimpan.

"Terima kasih sudah datang ya, kata Lea sambil menyodorkan kotak kecil berisi Rosario pada Herman. Doakan aku ya lewat Rosario ini. Kehadiranmu selalu berarti," ucap suster Lea sebelum beranjak masuk.

Herman mengangguk, menyadari bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki.

Kadang cinta sejati berarti mengikhlaskan dan mendukung kebahagiaan orang yang kita sayangi, meskipun dari jauh.

Saat langkah Lea menjauh dan benar-benar tidak dilihat lagi, Herman berbalik dan meninggalkan gerbang biara itu dengan hati yang tenang.

Ia tahu, cintanya cukup sampai di sini, di gerbang biara. Selebihnya tidak boleh. Cukup didoakan saja. (*)

* Marsel Koka,  asal Riominsi, Riung Barat , Kabupaten Ngada, Flores. Tinggal di Manila, Filipina

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved