Ramadan 2025
Hikmah Ramadan: Merawat Kemabruran Puasa - Dari Sufi Palsu ke Sufi Sejati
Ada yang memang benar-benar Sufi sejati dan ada juga yang mengaku-ngaku Sufi atau Sufi palsu
Oleh: Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA
POS-KUPANG.COM - Kajian tasawuf kini sedang trand. Tiba-tiba muncul banyak orang yang mengaku Sufi dengan konotasi bermacam-macam.
Di antara mereka mungkin ada yang memang benar-benar Sufi sejati (shufi) dan ada juga yang mengaku-ngaku Sufi atau Sufi palsu (mutashawwif).
Sufi sejati telah melalui perjuangan dan perjalanan spiritual yang panjang secara sistematis (mujahadah). Sedangkan Sufi palsu tidak pernah melalui perjalanan panjang dan berjuang keras untuk melewati tahapan (maqam).
Antara Sufi sejati dan Sufi palsu sulit dibedakan oleh orang awam. Kadang-kadang Sufi sejati dianggap Sufi palsu atau bukan Sufi, karena penampilan fisik dan lahiriah tidak sesuai dengan espektasinya.
Misalnya seseorang membayangkan sosok Sufi menggunakan pakaian kebesaran khusus, didampingi para pengawal (mursyid), memiliki tarekat dan pengikut yang mamadaibesar, dan muru'ah-nya tinggi.
Baca juga: Hikmah Ramadan: Merawat Kemabruran Puasa - Dari Taabbud ke Istianah
Sufi palsu suka membaca ekspektasi jamaah. Apa yang diharapkan jamaah terpenuhi dan yang tidak diinginkan jamaah disampaikan sedemikian rupa.
Tanda-tanda sedehana Sufi biasanya tidak pernah mau memperkebalkan diri sebagai Sufi, tidak mau mendeklarasikan ajarannya, tidak mau terpengaruh materi, bahkan cenderung menghindari popularitas dan orang banyak.
Dia lebih banyak beramal dan bermujahadah daripada banyak berbicara dan berceramah di mana-mana. Dia tidak terlalu suka diundang kemana-mana tetapi lebih senang tinggal menetap di tempat atau padepokannya bersama santri atau muridnya.
Dia berhati-hati berbicara dan memberikan pengajaran kepada orang yang baru dikenalnya, tetapi murid-murid lama dan yang dikenalnya proaktif untuk membimbing, mendoakan, dan mengajarnya.
Sedangkan tanda-tanda sederhana Sufi palsu adalah suka mengangkat diri sebagai pemimpin atau tokoh spiritual, suka mengumbar janji keberhasilan kepada jamaah dengan doa dan wirid, sering mencela ustas atau tokoh spiritual lainnya, muru'ah-nya kurang, mencintai pujian dan popularitas, tidak bisa menyembunyikan kecintaannya terhadap materi dan dunia, bahkan hidupnya tergantung pada jamaahnya, mudah dan marah.
Baca juga: Hikmah Ramadan: Merawat Kemabruran Puasa - Dari Syariah ke Hakikat
Dia juga cenderung membeda-bedakan kelas sosial-ekonomi jamaahnya, lebih respek dan lebih mudah memberikan terhadap pelayanan masyarakat kelas atas dan cenderung menyepelekan jamaah yang tidak berkelas.
Dia memiliki mobilitas tinggi dalam melayani permintaan orang atau jamaah khususnya, sementara murid-murid di padepokannya cenderung ditelantarkan.
Sufi sejati membimbing dan mengajar dengan hati dan spiritual, sehingga dirasakan betul di dalam hati para murid dan jamaahnya. Segala sesuatu darinya bersumber dari hati nurani sehingga berjanji kepada para muridnya.
Persis seperti qaul yang mengatakan: “Segala yang keluar dari hati akan mendarat di hati” (kullu ma kharaja minal qalb waqa'a fil qalb).
Sedangkan Sufi palsu, pintar membolak balik kata-kata, berpenampilan menarik dan memukau, tetapi sayang seperti kata qaul: Kata-katanya “masuk di telinga kanan keluar dari telinga kiri”, tanpa ada yang tersimpan. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.