Opini

Opini: Bawa Guru Tukang Konten ke Meja Rakyat

Ada rasa segan untuk menyampaikan teguran. Apalagi ketika guru masih dianggap can do no wrong, tindak- tanduknya cenderung dianggap serba benar.

|
Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Heribertus Jani
Dosen dan Praktisi Pendidikan di Jakarta

POS-KUPANG.COM - Belum genap sebulan dilantik, Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena langsung tancap gas menggelar Meja Rakyat

Meja Rakyat yang merupakan akronim dari Melki-Johni Melayani Rakyat adalah sebuah ruang yang disediakan bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi langsung kepada pemimpinnya. Warga bisa datang langsung, atau cukup menghubungi nomor kontak 081138319989 dan 081138319988 (Kompas, 14/3/2025).

Membaca kabar ini, penulis teringat akan imbauan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT beberapa waktu lalu agar para guru tidak membuat konten alias ngonten saat pembelajaran berlangsung (Kabar NTT, 18/2/2025). 

Meskipun disampaikan dalam forum terbatas, kabar tersebut berhasil diamplifikasi sedemikian rupa melalui media massa dan media sosial sehingga gaungnya menjangkau berbagai jenjang sekolah seantero NTT dan masyarakat luas.

Pertanyaannya, setelah beredar luas, seberapa efektif pengaruh imbauan tersebut? Apakah para guru serta merta patuh atau warga masyarakat, utamanya orang tua siswa, sontak menjadi pengontrol guru? Rasanya tak segampang itu. 
Tanpa regulasi yang bersifat memaksa, imbauan ini mungkin tidak begitu berdampak. 

RESMIKAN MEJA RAKYAT- Gubernur NTT Melki Laka Lena meresmikan Meja Rakyat dan Sekertariat Bersama Ayo Bangun NTT di Kantor Gubernur NTT, Jumat 14 Februari 2025. 
RESMIKAN MEJA RAKYAT- Gubernur NTT Melki Laka Lena meresmikan Meja Rakyat dan Sekretariat Bersama Ayo Bangun NTT di Kantor Gubernur NTT.  (POS-KUPANG.COM-MARIA SELFIANI BAKI WUKAK )

Keterlibatan masyarakat untuk langsung menjadi pengontrol juga tidak akan langsung berjalan, selain karena boleh jadi mereka tidak menganggap itu sebagai masalah, juga secara sosial guru (terutama di kampung-kampung) masih dipandang sebagai sosok terpandang. 

Ada rasa segan untuk menyampaikan teguran. Apalagi ketika guru masih dianggap can do no wrong, tindak- tanduknya cenderung dianggap serba benar.

Pada titik ini, imbauan Kepala Dinas Dikbud NTT harusnya membuka mata semua pihak, termasuk orang tua siswa dan guru itu sendiri bahwa ngonten sambil mengajar itu tindakan yang keliru dan merugikan. 

Karena itu, terbukanya Meja Rakyat tak pelak lagi menjadi sarana paling cepat untuk mengevaluasi semua kekeliruan tersebut. Rasa segan untuk menegur guru secara langsung bisa dihindari dengan mengadu ke Meja Rakyat.

Kontenisasi pembelajaran

Sudah pasti ada banyak yang bertanya apa salahnya membuat konten di dalam kelas? Bukankah itu wujud kreativitas guru di era digital? 

Bukankah praktik baik (best practice) dalam mengajar itu perlu disebarluaskan kepada guru-guru lain di luar sana? 

Tidakkah itu penting untuk dipelajari juga oleh siswa dari sekolah lain? Rentetan pertanyaan ini tak lain digerakkan oleh roh yang ditinggalkan Kurikulum Merdeka.

Benar, pembelajaran yang inspiratif harus ditularkan ke mana-mana. Namun, ketika itu melibatkan media sosial, ada bahaya esensi pembelajaran dikorbankan hanya untuk kepentingan konten. 

Tengoklah media sosial kita, tak susah ditemukan banyak pembelajaran direduksi menjadi sandiwara atas nama niat berbagi. Begitu banyak settingan, bahkan guru tidak lebih dari sekadar badut yang sedang bermain peran (Bdk. Guru Badut, Kompas.Id, 28/12/2024).

Merugikan siswa

Saat mulai berorientasi konten, fokus pembelajaran tentu bergeser dari substansi ke sensasi. Ini tak terhindarkan karena, sadar atau tidak, guru dikendalikan oleh hukum media sosial: makin sensasional, makin viral. 

Ganjarannya pun menggiurkan: menjadi populer plus dapat penghasilan tambahan. Buntutnya, bisa-bisa profesi guru dianggap hanya pekerjaan sampingan sementara yang utama adalah jadi content creator.

Siswa tentu rugi besar. Mereka tidak hanya diinstrumentalisasi untuk mengenyangkan ego sang guru, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan layanan pembelajaran yang mendalam dan berkualitas. 

Saat bersamaan, tanpa sadar mereka dibentuk menjadi pribadi yang menormalisasi kepalsuan dan kepura-puraan sambil mengagung-agungkan sensasi dan menginjak-injak substansi.

Kerugian juga terjadi karena guru kehilangan banyak waktu untuk belajar mendalami dan memperkaya materi pembelajaran. 

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa media sosial yang mengiming-imingi penghasilan, memperlakukan pembuat konten layaknya karyawan yang harus produktif sekaligus aktif melakukan interaksi (berkomentar/menanggapi) di dalam platform.

Menjadi kian runyam ketika semua itu dilakukan dengan girang hingga melupakan tugas utama. 

Ahli neurosains menjelaskan perasaan itu muncul dari naiknya produksi zat dopamin dalam otak yang dipicu oleh aktivitas di media sosial. 

Paparan media sosial ternyata meningkatkan pelepasan dopamin dari otak yang menciptakan rasa senang instan.

Semakin lama menikmati media sosial, semakin banyak pula dopamin terproduksi. Itulah yang menimbulkan kecanduan (Nature Neuroscience, 2023). 

Atas dasar kesenangan instan yang bikin candu tersebut, proses pembelajaran jadinya diatur hanya untuk mendapat reaksi menyenangkan dari penonton. 

Sebutlah misalnya seorang guru mengunggah video dirinya yang sedang menjelaskan materi dalam posisi duduk dengan sorotan kamera ke wajah secara close up, ternyata banyak ditonton dan banjir sanjungan, guru tersebut bisa menyimpulkan itu adalah cara mengajar terbaik.

Apalagi ketika ia coba menyajikan video lain yang tidak close up dan ternyata sepi atensi dan tanggapan. 

Di sini jelas, siapa yang sedang dilayani guru tersebut. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah siswa mendapat contoh buruk mengenai penggunaan gawai atau gedget. 

Dengan melihat guru selalu menggunakan gawai di dalam kelas, mereka merasa bahwa itu tindakan yang wajar. Kemungkinan mereka akan meniru tentu sangat besar. 

Padahal bahaya brain rot atau pembusukan otak akibat penggunaan media sosial secara berlebihan dan berbagai masalah mental semakin nyata menggerogoti generasi muda kita sekarang. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved