NTT Terkini

‘Kabar baik dari Laut Wallacea’ Angkat Konservasi Berbasis Kearifan Lokal NTT

Upaya itu dilakukan dalam rangka melindungi habitat alami, keanekaragaman spesies laut dan populasinya. 

|
Penulis: Ryan Nong | Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
DISEMINASI BUKU - Penulis Yapi Manuleus, Kepala Dinas Kelautan Perikanan NTT, Sulastri Rasyid dan Akademisi Undana Hamzah Wulakada (kiri-kanan) saat berbicara dalam diseminasi buku Kabar Baik dari Laut Wallacea di Aula DKP NTT, Jumat (14/3/2025). 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem laut secara berkelanjutan telah menjadi konsen berbagai elemen masyarakat di berbagai belahan dunia. 

Tak terkecuali di Indonesia; negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi, berbagai upaya konservasi terus digalakkan. 

Upaya itu dilakukan dalam rangka melindungi habitat alami, keanekaragaman spesies laut dan populasinya. 

Jauh di wilayah bagian tenggara nusantara, masyarakat lokal di Kabupaten Lembata dan Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur (NTT) pun melakukan upaya konservasi berbasis kearifan lokal setempat. 

Masyarakat lokal di Kabupaten Lembata, khususnya yang berada di kaki Gunung Ile Lewotolok mengelola sumber daya alam laut mereka melalui praktik Muro

Sementara di Pulau Solor Kabupaten Flores Timur, masyarakat lokal mengenal dan menjalankan ritual Kebang

Dalam diseminasi Buku ‘Kabar baik dari Laut Wallacea’ yang digelar di Aula Dinas Kelautan dan Perikanan NTT pada Jumat (14/2/2025), Yapi Manuleus yang menjadi salah satu penulis buku menyebut bahwa dua kearifan lokal itu masih terpelihara hingga saat ini. 

Yapi mengangkat upaya konservasi berbasis kearifan lokal itu dalam tema Lumbung Ikan Masyarakat Adat Lembata dan Solor. 

Yapi yang merupakan wartawan harian regional itu menyebut masyarakat adat telah membangun kesepakatan sosial untuk menjaga dan melindungi kelestarian darat dan laut sudah menjadi tradisi secara turun temurun. 

Apapun Muro yang secara harfiah diartikan sebagai larangan menangkap ikan di wilayah yang “dikeramatkan”, melingkupi seperangkat tata kelola yang memastikan aturan, perangkat adat, ritual, pengawasan hingga penegakan aturan dan sanksinya oleh masyarakat adat setempat.

Cakupan Muro di Desa Tapobaran Kecamatan Lebatukan meliputi wilayah Wahto Goli, Tua Pue Rua, Wewa Kana, Wewa Bero Uha, Wewa Kana Deka Sia, Wewa Belo Deka Sia (Muse Penemu) dan Tale Uha. 

Pada sisi utara dan selatan berbatasan dengan pinggiran hutan mangrove, sementara Sisi timur berbatasan dengan perairan Desa Tapolangu, dan bagian barat berbatasan dengan hutan mangrove Nuha Nera. 

Muro ditetapkan melalui kesepakatan bersama dalam pertemuan yang dihadiri perwakilan enam suku di Desa Tapobaran, para tetua adat, masyarakat, dan pemerintah setempat. 

Keenam suku tersebut adalah Suku Maing selaku tuan tanah, Baolangu, Atawolo, Lango Raring, Kowa Lolon, dan Langa Tukan selaku pemegang nama Wahta Desa Tapobaran.

Sementara di Pulau Solor Kabupaten Flores Timur, masyarakat memiliki warisan tradisi dengan kearifan menjaga alam, yakni Keniki Keluak Moka Raruk. 

Masyarakat adat di Desa Bubu Atagamu dan Desa Lewograran turun temurun menjaga wilayah lautan yang diyakini sebagai lumbung ikan dan mengelola lautan. Kearifan lokal itu mereka sebut Kebang lewa lolon, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lumbung. 

Kebang membagi wilayah lumbung ikan dalam tiga zona yakni zona temude atau zona inti yang ditutup permanen dan menjadi rumah bagi terumbu karang. Luasnya sekitar empat hektar dan ditandai dengan pemasangan pelampung berwarna hitam. 

Jarak dari garis pantai ke tanda pelampung ke arah tengah laut sekira 200 meter dan berada tepat di tengah wilayah desa. 

Zona kedua adalah mele neki yaitu area buka-tutup yang dibuka setahun sekali pada Februari hingga Maret. Lokasinya memanjang hingga ke batas bagian timur Desa Bubu Atagamu dan Desa Watan Hura. 

Sedangkan zona ketiga adalah mele wana yang menjadi zona bebas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. 

Dalam diseminasi buku yang diproduksi Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) dan Burung Indonesia dengan sokongan Critical Ecosystem Partnership Fund itu, Yapi meyakini pola konservasi sumber daya alam laut berbasis kearifan lokal terbukti mampu memberikan dampak ekonomi dan dampak ekologis. 

“Banyak kebajikan muncul dari praktik kebang lewa lolon di Solor maupun muro di Lembata,” ungkap Yapi. 

Diseminasi buku itu menghadirkan Kepala Dinas Kelautan Perikanan NTT, Sulastri Rasyid dan Akademisi Undana Hamzah Wulakada sebagai pembanding. (Ian) 

 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved