Makan Bergizi Gratis

Riset GSRI: Program MBG Berpotensi Pemborosan Keuangan Negara

GSRI pun menyampaikan keprihatinan mendalam terkait implementasi program makanan bergizi gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintah. 

Editor: Ryan Nong
KOMPAS.COM/NUR ZAIDI
MENU MBG - Pelajar SD Negeri Cangkringrembang, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, menunjukkan menu MBG yang baru didapatkan, Senin (24/2/2025). Hasil kajian dan riset GSRI menunjukkan program MBG miliki berbagai kelemahan dalam perencanaan, distribusi, dan pengelolaan anggaran. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Hasil kajian dan riset Global Strategic Riset Indonesia (GSRI) menunjukkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan berbagai kelemahan dalam perencanaan, distribusi, dan pengelolaan anggaran.

GSRI pun menyampaikan keprihatinan mendalam terkait implementasi program makanan bergizi gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintah. 

“Ini berpotensi menyebabkan pemborosan besar-besaran terhadap keuangan negara,” kata Direktur Eksekutif GSRI, Sebastian Salang dalam keterangan resmi, dikutip dari Kompas.com, Minggu (2/3/2025). 

Dia menyayangkan adanya kelemahan di berbagai sektor tersebut. Sebab, program itu sejatinya bertujuan untuk memberikan asupan makanan bergizi bagi siswa dari tingkat PAUD hingga SMA, serta ibu hamil dan menyusui.

“Ini memang merupakan inisiatif yang terlihat positif. Namun, realisasi di lapangan menunjukkan adanya ketidaksiapan sistem, alokasi anggaran yang tidak realistis, serta skema distribusi yang berpotensi gagal menjangkau kelompok sasaran secara efektif,” ujarnya.

Sebastian menjelaskan, salah satu permasalahan utama adalah duplikasi anggaran dengan program-program bantuan serupa yang sudah ada.

Saat ini, terdapat anggaran program eksisting sebesar Rp 67,147 triliun, sementara makan bergizi gratis memerlukan tambahan dana Rp 171 triliun, sehingga total anggaran program ini membengkak menjadi Rp 238,147 triliun.

“Anggaran sebesar ini tanpa perencanaan yang matang dapat mengganggu kestabilan fiskal negara,” katanya.

Dia juga mengkritik terkait pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi tulang punggung distribusi MBG.

Adapun target pembangunan 5.000 SPPG di seluruh Indonesia hingga Juli 2025, namun penyebaran lokasinya disebut tidak berdasarkan kebutuhan nyata penerima manfaat.

Menurut Sebastian, sebagian besar SPPG justru terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang seharusnya menjadi prioritas utama malah belum tersentuh.

“Padahal, program ini diklaim bertujuan membantu daerah yang mengalami kekurangan gizi dan akses makanan sehat,” ujarnya.

Selain itu, ketidakjelasan skema pengadaan tanah untuk SPPG (apakah akan dibeli atau disewa) serta besarnya anggaran per unit (Rp 1,2 hingga Rp 1,5 miliar per SPPG) tanpa perencanaan teknis yang rinci berpotensi menyebabkan pemborosan dan penyalahgunaan dana.

GSRI juga menyoroti banyaknya celah dalam pengelolaan anggaran makan bergizi gratis, termasuk mark up harga food tray dari harga impor Rp 20.000 per unit menjadi Rp 50.000 per unit.

Kemudian, GSRI menyoroti potensi monopoli pengadaan oleh pihak tertentu tanpa transparansi dalam tender. Demikian juga, alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved