Opini
Opini: Janus dan Jukstaposisi
Kita tidak dapat mengikuti secara detail kehidupan Pannonius di Italia, selain melalui deduksi atas sejumlah informasi dalam epigram-epigramnya.
Oleh: Mario F. Lawi
Penggemar Bahasa dan Sastra Latin, tinggal di Kupang
Non secus e Phrygiis surrexit Roma ruinis,
morte sua Phoebi quam reparatur avis;
nam simul ac fessam solvit longaeva senecus,
rursum e relliquiis nascitur illa suis. S
ed Phoenice tamen melius iacet Ilia tellus:
maiorem cinis hic reddidit, ille parem.
Epigram tersebut ditulis oleh Janus Pannonius, bentuk Latin dari nama asli János Csezmiczei (29 Agustus 1434-27 Maret 1472), seorang Latinis, penyair, diplomat Hungaria, dan uskup Pécs.
Sebelum sampai pada makna kuplet-kuplet tersebut, ada baiknya kita mengetahui sekilas tentang sang epigrammatis, Janus Pannonius, dan konteks penerbitan karyanya di Indonesia. Janus Pannonius lahir di Csázma, Slavonia, dari ayah seorang Kroasia, dan ibu asal Hungaria. Pada saat itu, Kroasia merupakan bagian dari Hungaria.
Nama belakangnya, Pannonius, mengikuti nama sebuah provinsi Romawi yang kira-kira dapat dihubungkan dengan Hungaria periode tersebut. Janus hidup pada abad ketika Hungaria begitu terbuka pada pengaruh dari Italia, terutama humanisme.
Pada 1447, pamannya mengirim Janus untuk belajar bahasa Yunani dan Latin di Verona, agar bisa menjadi menjadi abdi negara tingkat tinggi di Hungaria.
Kita tidak dapat mengikuti secara detail kehidupan Pannonius di Italia, selain melalui deduksi atas sejumlah informasi dalam epigram-epigramnya.
Pannonius merupakan penyair Renaisans paling penting dari Kerajaan Hungaria. Ia meninggal pada usia 38 tahun di Pécs, dan dimakamkan di katedral Pécs.
Pannonius hanya menulis dalam bahasa Latin. Pada saat itu, bahasa sastra dan budaya sebagian besar Eropa Barat adalah bahasa Latin, dan hanya ada sejumlah contoh kecil bahasa-bahasa vernacular digunakan untuk menulis karya sastra, sebagaimana ditunjukkan Dante di Italia.
Pannonius pun beranggapan serupa, dan salah satu contoh anggapan tersebut adalah terjemahannya atas karya humanis Venezia Jacopo Antonio Marcello ke bahasa Latin.
Karya tunggal pertama Pannonius diterbitkan di Vienna pada 1512. Sejak itu, berbagai karya Janus mulai diteliti, dikumpulkan, dan diterbitkan oleh sejumlah pengkaji, antara lain oleh Norbert Conradi, János Zsámboki, Sámuel Teleki, Sándor Kovásznai Tóth, József Koller, Jeno Ábel, József Huszti dan
László Juhász.
Berdasarkan penelusuran atas tradisi dan perdebatan yang dilakukan terhadap teks-teks yang dikumpulkan oleh para pengkaji sebelumnya, pada 2006, tim dari Institut Sastra Akademi Ilmu Pengetahuan Hungaria Bagian Sastra Renaisans (Institutum Litterarum Academiae Scientiarum Hungaricae Sectio Litterarum Renascentium) menerbitkan seri pertama dari Iani Pannonii Opera Quae Manserunt Omnia (Karya Lengkap Janus Pannonius yang Pernah Ada).
Seri pertama Iani Pannonii Opera ini memuat epigram-epigramnya, yang sebagian besar dikerjakan dalam metrum kuplet elegi, seperti jejak yang ditinggalkan para epigrammatis dari era Romawi, terutamaMartialis dan Catullus.
Penerbitan seri tersebut dipimpin oleh Stephanus Borzsák dan Agnes Ritoók- Szalay, dan seri epigram disunting, diberi pengantar dan apparatus criticus oleh Gyula Mayer. Apparatus similia edisi epigram dikerjakan oleh László Török, yang mengumpulkan pasase-pasase yang serupa, atau yang merujuk ke bahasa-bahasa puitik kontemporer dan klasik. Terjemahan Inggris komentar-komentar dalam buku tersebut dikerjakan oleh Miklós Bodóczky.
Setelah bagian epigram, menurut informasi tim penyunting, akan menyusul karya-karya eleginya (yang juga ditulis dalam metrum kuplet elegi), lalu bagian ketiga yang berisi tulisan-tulisan panegriknya, beserta tiga karya lainnya (Carmen pro pacanda Italia, Carmen ad Ludovicum Gonzagam, dan Eranemos), dan bagian terakhir yang berisi prosa, terjemahan karya Homeros yang dikerjakannya, serta surat-suratnya.
Étienne Wolff (2021), penerjemah karya-karya Janus Pannonius ke bahasa Prancis, menggunakan bahan-bahan dari Teleki dan Mayer sebagai sumber utama terjemahannya. Biografi singkat hidup dan naskah Janus Pannonius dalam tulisan ini pun disarikan dari edisi Wolff (2021) dan Mayer (2006).
Di Indonesia, terjemahan epigram-epigram Janus Pannonius diperkenalkan oleh Zaim Rofiqi, melalui berbagai publikasi.
Terjemahan Zaim atas karya-karya Janus terbit dalam buku Epigram-Epigram Janus Pannonius (Omahsore, 2010), serta dipublikasi juga di jurnal rumahlebah ruangpuisi edisi 03/2012.
Koleksi Epigram-Epigram Janus Pannonius, menurut pengakuan langsung penerjemahnya, dicetak terbatas. Salah satu cara mengaksesnya adalah dengan mengunjungi perpustakaan atau pihak yang masih menyimpannya, misalnya Perpustakaan Kedutaan Besar Hungaria di Jakarta.
Terjemahan-terjemahan Zaim Rofiqi kemungkinan dikerjakan dari bahasa Inggris, mengingat sumber salah satu penggalan epigram Janus Pannonius yang dirujuk tulisannya di Majalah Tempo, 14 Maret 2010, publikasi lain yang memperkenalkan karya Janus ke bahasa Indonesia, adalah buku versi Inggris epigram-epigram Janus Pannonius berjudul The Epigrams terbitan Kner Printing House, 1985.
Selain terjemahan-terjemahan tersebut, pada 24 Mei 2023, bacapetra.co menerbitkan terjemahan sejumlah epigram Janus Pannonius yang saya kerjakan dari bahasa Latin (dengan tautan https://www.bacapetra.co/epigram-epigram-janus-pannonius/).
Sebagaimana epigram-epigram Martialis, epigrammatis favoritnya, epigram-epigram Janus Pannonius berkisah tentang hal-hal yang tidak tercakup dalam puisi-puisi epik Romawi. Misalnya epigram yang dikutip sebagai pembuka tulisan ini (Mayer, 69; Teleki, 152). Berdasarkan versi Latinnya, epigram tersebut bisa diterjemahkan seperti ini.
Roma telah bangkit dari reruntuhan Frigia,
Sebagaimana burung Febus hidup kembali dari kematiannya:
Karena sesaat setelah usia terlampau tua menghancurkan tubuh lelahnya,
Ia justru bangkit dari sisa-sisa abu tubuhnya.
Meski demikian, tanah Ilium berakhir lebih baik dari Fenisia:
Reruntuhan ini telah melahirkan yang lebih besar,
reruntuhan itu melahirkan yang setara.
Epigram tersebut merujuk pada kisah burung feniks, sebagaimana dikisahkan Ovidius dalam Metamorphoses (salah satu bagian puisi heksameter ini pernah saya bahas dalam esai saya berjudul “Phaeton, Alma Tellus dan Bencana,” Pos Kupang, 28 April 2021;
Salah satu karya Ovidius pernah saya bahas dalam esai saya, “Ovidius dan Kosmetik”, Pos Kupang, 26 Maret 2024), dan Lactantius dalam De Ave Phoenice (esai saya tentang puisi ini pernah terbit di Pos Kupang, 20 November 2020, dengan judul “Seekor Feniks Terbang Sendirian”), serta pengembaraan Aeneas dan pasukannya meninggalkan Troia atau Ilium yang luluh lantak akibat perang untuk menemukan tanah air baru seperti terekam dalam epic Aeneis karya Vergilius.
Meski demikian, jika dicermati, jukstaposisi dan perbandingan pada baris-barisnya juga merujuk kepada bangsa Romawi dan Karthago, sebagai keturunan langsung dari orang-orang Troia dan Tirus, kota metropolitan bangsa Fenisia (bagian awal epik ini sempat saya bahas dalam esai saya, terutama pertemuan antara Aeneas, pendiri bangsa Romawi, dengan Dido, ratu Karthago, dalam “Tragedi Dido”, Pos Kupang, 27 Juli 2021).
Versi Latin epigram, sebagaimana saya sertakan sebagai pembuka tulisan, dikerjakan dalam metrum kuplet elegi.
Epigram yang sama telah diterjemahkan Zaim Rofiqi dalam rumahlebah ruangpuisi 03/2012, seperti ini:
Roma bangkit dari reruntuhan Troya
Seperti burung Phoebus bangkit setelah kematiannya.
Saat letihnya berakhir bersama tahun-tahun yang begitu panjang
Ia lahir kembali dari bentuk matinya.
Tapi tanah Ilium lebih besar ketimbang Phoenix;
abunya melahirkan makhluk yang lebih unggul; tanah Phoeniks yang setara.
Karena diperantarai bahasa kedua, risiko hilangnya ketepatan pemaknaan menjadi semakin besar dalam terjemahan Zaim.
Dalam terjemahan tersebut, hal paling jelas tampak adalah hilangnya jukstaposisi di pentameter terakhir, atau baris terakhir: “maiorem cinis hic reddidit, ille parem”.
Padahal, itulah salah satu ciri khas yang menunjukkan efektivitas epigram sebagai puisi ringkas, yang rujukannya bisa kita temukan dalam epigram Martialis.
Pasangan “hic” (ini, atau yang ini) dan “ille” (itu, atau yang itu), dua pronomina demonstratif sebagai jukstaposisi dalam epigram Martialis dapat kita temukan dalam contoh epigramnya tentang Thais (buku 5, epigram 43). Martialis menulis kuplet tersebut begini:
Thais habet nigros, niveos Laecania dentes.
quae rasio est? emptos haec habet, illa suos.
Gigi Thais hitam, gigi Laecania putih-salju. Kok bisa? Punya Laecania gigi belian, punya Thais gigi asli.
Dalam sekuplet epigram Martialis di atas, kita temukan jukstaposisi di masing-masing baris. Di baris pertama ada Thais yang bergigi hitam, dan Laecania yang bergigi putih.
Di baris kedua ada “haec” (bentuk feminin jamak dari “hic”), dan “illa” (bentuk feminin jamak dari “ille”).
Dalam epigram Martialis, “haec” dan “illa”, merujuk kepada keadaan gigi yang ditampilkan di baris pertama (karena dalam puisi tersebut, gigi atau “dentes”, bergenus feminin, kedua pronomina demonstratif pun mengambil bentuk feminin).
Dengan demikian, “haec” dan “illa” sebagai jukstaposisi, merangkum kondisi berbeda gigi, baik yang ditunjukkan di baris pertama, maupun di baris kedua. “Haec” kepada gigi putih Laecania yang merupakan gigi belian, dan “illa” kepada gigi hitam Thais yang merupakan gigi asli.
Dalam puisi Janus Pannonius terjemahan Zaim, tidak tampaknya jukstaposisi secara jelas pada baris terakhir membuat baris tersebut bisa dimengerti sebagai “yang lebih unggul” adalah “tanah Phoeniks yang setara” sebagai perincian dari baris penultima (perhatikan tanda titik koma di baris penultima).
Padahal, bukan itu yang dimaksud Janus Pannonius, yang secara jelas ditunjukkan dalam versi Latin melalui penggunaan pasangan jukstaposisi “hic” dan “ille”.
Pada baris terakhir epigram Janus Pannonius, “hic” dan “ille”, berbentuk maskulin karena berpasangan dengan nomina maskulin “cinis” (abu/reruntuhan), merupakan jukstaposisi bagi keadaan dua kota yang berbeda: “hic” bagi Kota Roma, yang lahir dari reruntuhan Ilium, karena didirikan oleh Aeneas dari Ilium, menjadi kota yang lebih besar dari reruntuhan yang melahirkannya; dan “ille” bagi Kota Karthago, yang lahir dari reruntuhan Tirus (salah satu kota metropolis paling awal bangsa Fenisia), karena didirikan Ratu Dido dari Tirus, menjadi kota yang hanya
mampu menyamai kebesaran reruntuhannya.
Janus Pannonius tidak secara eksplisit menggunakan kata “Carthago” di dalam epigramnya, tetapi orang-orang yang membaca karya-karya para penyair Romawi idak akan asing dengan perbandingan-perbandingan yang diberikan oleh para penyair kuno terhadap Roma dan Karthago. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.