Opini

Opini: Kemiskinan Ekstrem di NTT dalam Realitas Sosial

Garis kemiskinan ini mencerminkan jumlah minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, termasuk makanan

|
Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI - Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Oleh: Aprianus Paskalius Taboen
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM  -  Kemiskinan ekstrem di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi isu krusial yang menuntut perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat. 

Dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan masyarakat tetapi juga pada perkembangan sosial dan ekonomi di daerah tersebut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, pada September 2024, persentase penduduk miskin di NTT mencapai 19,02 persen, turun dari 19,48 persen pada Maret 2024. 

Namun, angka ini masih jauh di atas rata-rata nasional yang berada di kisaran 9,5 persen. Jumlah penduduk miskin di NTT pada periode tersebut mencapai 1,11 juta orang, menunjukkan bahwa tantangan pengentasan kemiskinan masih sangat besar.

Garis Kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp533.944 per kapita per bulan, Ini berarti seseorang dikategorikan miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp533.944 per bulan.  

Garis kemiskinan ini mencerminkan jumlah minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, termasuk makanan dan non-makanan. 

Dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp407.240 (76,27 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp126.704 (23,73 persen).

Melihat data tersebut dapat diartikan bahwa bagian terbesar dari garis kemiskinan adalah pengeluaran untuk makanan, yaitu sekitar 76,27 persen atau Rp407.240 per bulan. 

Hal ini menunjukkan mayoritas pengeluaran penduduk miskin di NTT digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan, seperti beras, lauk-pauk, dan bahan makanan pokok lainnya. Sebesar 23,73 persen atau Rp126.704 digunakan untuk kebutuhan non-makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan dasar lainnya.

Rata-rata rumah tangga miskin di NTT memiliki 5,81 anggota, sehingga Garis Kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah Rp3.102.215 per bulan. Artinya, dalam satu keluarga miskin di NTT, rata-rata terdapat sekitar 5–6 orang. 

Dengan jumlah anggota rumah tangga tersebut, maka untuk tidak dianggap miskin, sebuah rumah tangga harus memiliki total pengeluaran lebih dari Rp3.102.215 per bulan. Jika pengeluaran rumah tangga di bawah jumlah ini, maka mereka masuk dalam kategori miskin.

Perspektif Sosiologis

Dari sudut pandang sosiologis, kemiskinan ekstrem di NTT bukan sekadar permasalahan ekonomi, tetapi juga merupakan hasil dari struktur sosial yang kurang mendukung mobilitas sosial masyarakat. 

Keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan menyebabkan kelompok miskin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.

Teori strukturalisme menyoroti bagaimana faktor-faktor sosial seperti budaya patronase, ketimpangan distribusi sumber daya, dan rendahnya tingkat literasi ekonomi memperkuat kondisi kemiskinan ekstrem.

Selain itu, teori ketergantungan (dependency theory) relevan dalam memahami bagaimana keterbatasan infrastruktur dan kurangnya investasi di sektor produktif seperti minimnya industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan;

Terbatasnya infrastruktur pendukung sektor produktif, kurangnya dukungan modal dan kredit bagi UMKM lokal, investasi yang lebih berorientasi pada sektor konsumtif, minimnya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, membuat NTT tetap bergantung pada bantuan pusat.

Kebijakan yang tidak mempertimbangkan karakteristik sosial-ekonomi lokal dapat memperparah ketimpangan ini, membuat masyarakat miskin tetap terjebak dalam situasi yang sulit untuk diatasi.

Beberapa faktor mendasar menyebabkan kemiskinan ekstrem di NTT tetap tinggi. Pertama, keterbatasan infrastruktur dan aksesibilitas menjadi kendala Utama dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. 

Banyak daerah terpencil di NTT yang sulit dijangkau, sehingga distribusi barang dan jasa tidak optimal. Kedua, rendahnya kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja juga menjadi faktor penyebab.

Tingginya angka putus sekolah serta keterbatasan akses terhadap pendidikan yang layak menghambat masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Anggota Komisi X DPR RI, Anita Gah, mengungkapkan bahwa jumlah anak putus sekolah di NTT mencapai sekitar 200 ribu anak.

Kondisi geografis NTT yang terdiri dari banyak pulau kecil dan terpencil menyulitkan akses ke fasilitas pendidikan. 

Banyak sekolah terletak di daerah yang sulit dijangkau, sehingga siswa harus menempuh jarak yang jauh dan medan yang sulit untuk mencapai sekolah. Hal ini sering kali menyebabkan ketidakhadiran siswa atau bahkan putus sekolah.

Selain itu, sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk masih mengalami kendala serius, seperti rendahnya produktivitas akibat teknik bercocok tanam yang masih tradisional dan minimnya dukungan teknologi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT menunjukkan bahwa produksi padi di beberapa kabupaten mengalami fluktuasi. 

Misalnya, produksi padi di Kabupaten Sumba Barat tercatat sebesar 30.574 ton pada tahun 2021, menurun menjadi 30.180 ton pada tahun 2022, dan meningkat sedikit menjadi 31.146 ton pada tahun 2023.

Demikian pula, di Kabupaten Sumba Timur, produksi padi menurun dari 54.189 ton pada tahun 2021 menjadi 52.284 ton pada tahun 2022. Fluktuasi ini mencerminkan tantangan dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas pertanian di NTT.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian di NTT, termasuk mendorong pemanfaatan teknologi pertanian modern. 

Misalnya, Presiden RI mendorong penggunaan mesin tanam jagung (planter) di lahan seluas 53 hektare di NTT sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan hasil produksi.

Namun, implementasi teknologi ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, biaya yang tinggi, dan kurangnya pengetahuan serta pelatihan mengenai teknologi pertanian modern juga menjadi hambatan bagi petani untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Di sisi lain, bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat miskin di NTT, yang sangat bergantung pada sektor pertanian dan peternakan.

Pemerintah pusat dan daerah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk menekan angka kemiskinan di NTT. Salah satu langkah strategis adalah implementasi Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) terus diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Selain itu, pemerintah juga meluncurkan Dashboard Padu Padan Data Kemiskinan Ekstrem NTT yang bertujuan untuk memastikan data yang lebih  akurat dan intervensi yang lebih tepat sasaran.

Dari perspektif sosiologis, pendekatan bantuan sosial yang hanya bersifat jangka pendek tidak cukup efektif jika tidak diiringi dengan pemberdayaan ekonomi dan penguatan modal sosial masyarakat. 

Program-program yang bersifat top-down sering kali kurang memahami kebutuhan spesifik masyarakat lokal, sehingga efektivitasnya menjadi terbatas.

Mengatasi kemiskinan ekstrem di NTT membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan. Selain bantuan sosial, diperlukan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis potensi lokal. 

Sektor pariwisata, misalnya, dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat setempat. Program pendidikan dan pelatihan keterampilan juga harus diperkuat agar masyarakat memiliki daya saing yang lebih baik di pasar kerja.

Selain itu, sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat penting dalam memastikan keberlanjutan program pengentasan kemiskinan. 

Pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat meningkatkan efektivitas kebijakan yang diterapkan.

Pada akhirnya, meskipun tantangan masih besar, dengan strategi yang tepat dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, kemiskinan ekstrem di NTT dapat ditekan secara signifikan.  

Harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat NTT tetap terbuka lebar, asalkan upaya pengentasan kemiskinan dilakukan secara sistematis, berbasis data, dan berorientasi pada pemberdayaan social ekonomi masyarakat. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved