Opini
Opini: “Ende Baru” Menuju Birokrasi Efisien, Transparan dan Berkeadilan
Rakyat yang telah memenangkan Paket Deo-Do harus setia dan tekun mengawal ziarah pengabdian paket ini tetap dengan sikap kritis yang terjaga.
Ketika pemimpin politik membuat batasan yang tegas dan jelas antara politik dan administrasi, apparat birokrasi yang merupakan pegawai negeri sipil akan taat mengikuti jalur itu.
Jika tidak, aparat sipil negara (ASN) yang sejatinya pelayan rakyat mengubah dirinya, bahkan menjadi munafik untuk melayani kepentingan politik pemimpinnya. Terciptalah jejaring kebodohan secara struktural dalam tubuh birokrasi.
Menurut Edison (2011), penguasa puncak di daerah merasa memiliki kewenangan penuh untuk memilih, menetapkan dan mengganti pejabat struktural yang akan membantunya dalam pemerintahan.
Kewenangan konstitusional itu tertera dalam UU ASN Pasal 53 yang menjelaskan tentang kewenangan pembinaan manajemen ASN oleh kepala daerah.
Perombakan secara besar- besaran di lingkungan jabatan struktural ketika kepala daerah baru terpilih adalah pemandangan biasa yang terjadi di berbagai daerah.
Permasalahan ini menjadi semakin pelik ketika perombakan dilakukan tidak didasarkan pada kompetensi/kinerja melainkan lebih menekankan pada kedekatan politik.
Padahal jika pemimpin berhasil menciptakan iklim etis dalam dinas sipil, hal itu memberikan pengaruh positif terhadap kinerja suatu organisasi (Sabrina, 2012).
Maka tidak heran bahwa mayoritas ASN yang tidak mampu mengekang gejolak hasrat berkuasa, lebih berorientasi membangun kedekatan politik dengan penguasa daripada membangun kompetensi dan kinerja untuk menjamin kariernya (Prasodjo & Rudita, 2014).
Faktor yang memengaruhi birokrasi berpolitik adalah kuatnya ketokohan (personality) menanamkan pengaruh terhadap ASN, vested interest ASN untuk mobilitas karier secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy.
Selain itu, ada berbagai tekanan terhadap PNS dari para pemegang kekuasaan dalam bentuk: tawaran jabatan, demosi dan juga mutasi dari para calon yang maju dalam Pilkada tersebut.
Tekanan ini sering terjadi dalam kasus Pilkada karena mindset PNS yang takut jika tidak memenuhi tekanan politik itu akan berdampak karier dia akan terhambat atau bahkan berhenti.
Aparat nirokrasi yang menjadi ASN itu mestinya sadar diri dan eksistensinya sehingga tidak menjadi “bulan-bulanan” tekanan politik apa pun. Mereka adalah petugas negara yang bebas mengabdikan diri kepada rakyat, siapa pun pemimpin politik yang dipilih rakyat dalam Pilkada.
Hanya ini yang umum terjadi: para pemimpin politik yang bertarung dalam Pilkada justru menghancurkan netralitas ASN dengan membangun relasi penuh janji politik yang menggiurkan hasrat ASN akan kuasa dan jabatan momental.
Penggerak Utama
Aparatur sipil negara (ASN) adalah penggerak utama birokrasi dan tulang punggung bangsa. Cita-cita Indonesia Emas 2045 harus didukung sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.