Liputan Khusus
Lipsus - Tinggal di Gubuk Reot, Keluarga di Sabu Raijua Tiap Hari Makan Daun Pepaya
Jadi tinggallah dirinya bersama istri dan anak-anaknya di rumah beratap daun peninggalan ayahnya itu.
POS-KUPANG.COM, SEBA – Kondisi rumah Djara Rohi (56) bersama istrinya, Mahi Makko (30) dan kelima anaknya sunggu memrihatinkan. Mereka bertujuh tinggal di bawah pohon kesambi di Kampung Mapipa, Desa Raemude, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua.
Tahun 2012, usai menikah, Djara dan Mahi tinggal bersama ayah Djara. Namun, pada 2013 ayah Djara Rohi meninggal dunia. Jadi tinggallah dirinya bersama istri dan anak-anaknya di rumah beratap daun peninggalan ayahnya itu.
Pada tahun 2014, kondisi rumah daun itu rusak dan tidak memungkinkan lagi untuk ditempati. Akibatnya Djara sekeluarganya membuat rumah darurat tak jauh dari rumah daun itu.
Djara Rohi membangun gubuk dengan berdindingkan triplek bekas. Tiang utama gubuk tersebut adalah pohon kesambi yang ditopang kayu-kayu hutan. Gubuk itu memang dibuat hanya untuk tidur tujuh orang. Kondisinya masih jauh dari kata layak.
Saat badai Seroja beberapa tahun silam, gubuk yang hanya dilindungi rimbunan daun Kesambi ini rusak. Atap gubuk daun lontar terangkat sehingga saat musim hujan, tetesan air hujan basahi seisi rumah.
Dalam gubuk ini, Djara Rohi tinggal bersama lima anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Anak kelimanya baru berusia dua minggu. Bayi mungil itu hanya dibungkus kaos milik Djara Rohi karena tidak mampu membeli selimut bayi.
Lima anaknya tak satu pun yang dilahirkan di rumah sakit atau puskesmas. Artinya kelima anaknya itu dilahirkan tanpa bantuan bidan atau dokter melainkan Djara sendiri membantu setiap proses persalinan istrinya di gubuk reot ini yang letaknya di tengah kebunnya di kampung Mapipa.
Meski suami istri ini memiliki BPJS Kesehatan namun dirinya tidak begitu paham prosedurnya. Bahkan kelima anaknya pun hingga saat ini belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Ia beralasan bahwa anak-anaknya tidak pernah sakit.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya Djara Rohi bertani dan beternak. Saat musim kering ia mengiris tuak dan dimasak menjadi gula Sabu yang akan dijualnya ke Pelabuhan Seba. Harga Rp 100.000 per jerigen ukuran 5 liter.
Oleh karena tidak memiliki kendaraan, untuk menuju Seba, Djara Rohi harus berjalan kaki dari Kampung Mapipa ke Pelabuhan Seba yang jaraknya sekitar belasan kilometer. Dia menempuhnya dalam waktu 2 jam sambil memikul jerigen gula Sabu.
Saat musim hujan seperti saat ini, Djara Rohi berkebun seperti menanam ubi, jagung dan juga kacang hijau sebagai salah komoditi unggulan di Sabu Raijua. Sedangkan hasil ternaknya seperti ayam dan babi jarang dijual karena sering terkena penyakit.
"Sekarang tidak jual ke sana lagi. Capek jalan kaki pikul gula. Sekarang bertanam saja, berternak juga, " ujarnya saat ditemui Pos Kupang di kampung Mapipa pada Minggu (12/1).
Anak keempatnya, Lina (4) pernah alami stunting dan mendapatkan bantuan makanan tambahan itu pun hanya sekali. Untuk tumbuh kembang anak-anaknya pun diberinya pangan lokal seperti ubi, jagung dan juga air gula Sabu.
Bahkan gula Sabu menjadi pangan alternatif yang dikonsumsi anggota keluarga ini ketika sudah tak mampu membeli beras, termasuk istrinya ketika sudah melahirkan.
"Kalau ada uang beli beras. Kalau tidak, makan jagung, ubi, gula sabu juga bisa. Hampir tiap hari makan daun pepaya," ujarnya.
Beruntungnya, untuk biaya sekolah anak-anaknya, Djara diringankan dengan adanya beasiswa. Setiap hari, anak-anaknya berjalan kaki berkilo-kilo meter menuju SDN Raemude untuk menimba ilmu.
Semen Bantuan Membatu
Selama puluhan tahun tinggal di gubuk ini, baru pada 2017 ia pernah menerima bantuan dari Dinas Sosial, Kabupaten Sabu Raijua berupa material bangunan seperti semen 35 sak, seng 70 lembar dan triplek 35 lembar. Kemudian pernah menerima bantuan PKH pada 2019 setahun penuh hingga pada 2020 hanya menerima sekali kemudian tidak pernah terima lagi.
Berdasarkan informasi yang didapatnya dari pendamping bahwa ada kesalahan nama pada data dan harus diperbaiki. Sementara istrinya baru-baru ini menerima bantuan sembako dari pemerintah setempat.
"Hanya itu saja. Pasir tidak ada. Semen sudah jadi batu. Saya tidak ada biaya untuk beli pasir, beli makan minum. Saya kasih tinggal saja itu barang. Saya beli makan saja susah, apalagi beli itu lagi lebih berat," ungkap Djara.
Hanya seng dan triplek yang bisa dipakai sebagai dinding dan atap untuk kamar tidur di gubuk ini. Sedangkan semen bantuan itu hanya tersisa beberapa sak yang sudah membatu. Sehingga hingga kini Djara beserta istri dan kelima anaknya hanya berlindung di bawah rindangan pohon kesambi.
Sebagai masyarakat kecil yang tidak berdaya, ia tidak berharap lebih kepada pemerintah namun jika ada perhatian, ia akan bersyukur.
Ternyata di wilayah itu kondisi memrihatinkan tidak saja dialami Djara Rohi. Kondisi yang sama juga dialami Walmince Kore (80) yang memilih hidup selibat hingga masa tuanya di rumah daun peninggalan pamannya seorang diri.
Walmince tidur beralaskan selembar tikar berdampingan dengan ember dan panci untuk menadah air hujan agar tak mengenainya. Rumah dari daun yang setengah atapnya sudah bocor dan ditumbuhi rerumputan.
Kondisi miris tersebut tak menyuruti semangat Walmince untuk membersihkan kebunnya dan menanam kacang hijau di sekeliling rumahnya. Rumah yang jaraknya cukup jauh dari jalan raya dan berada di tengah hutan dan kebun itu membuat siapa pun yang ingin mengunjunginya harus berjalan kaki.
Berbeda dengan Djara, Walmince sudah mendapatkan bantuan pemerintah desa berupa BLT Dana Desa dan bantuan lainnya. Namun untuk bantuan rumah layak huni belum pernah.
"Kita yang sendiri ini, urus sendiri. Semua orang sibuk. Jadi, saya tanggung jawab sendiri," ungkapnya.
Walmince sangat bersyukur ketika ada mengunjunginya dan merupakan satu-satu doanya yang terkabul apalagi bisa bercerita banyak tentang masa mudanya.

Bupati Minta Maaf
Saat mengkonfirmasi masalah kondisi Djara Rohi, Bupati Sabu Raijua, Drs Nikodemus N Rihi Heke menegaskan tentu ini merupakan kelemahan pemerintah setempat tidak memantau yang merupakan tugas RT/RW dan memberikan laporan.
"Ini sudah terlanjur. Tentu ini merupakan bagian kesalahan saya dari Bupati tidak bisa melihat itu. Oleh karena itu kami akan turun lapangan dan melihat secara langsung. Saya kira ini tanggung jawab kita bersama tetapi secara moril itu tanggung jawab saya sebagai Bupati akan berupaya melihat dari dekat dan mengatasi persoalan ini," ungkap Heke saat ditemui di ruang kerjanya pada Senin (13/1).
Untuk melihat langsung kondisi Djara Rohi, pada Selasa (14/1), Bupati Heke bersama Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kabupaten Sabu Raijua Dagerlin Nobrin Lay Rihi, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Sabu Raijua, Sofia Siu dan Kepala Pelaksana BPBD Sabu Raijua, Javid Ndu Ufi menuju ke Kampung Mapipa, Desa Raemude, Kecamatan Sabu Barat untuk memantau langsung kondisi kediaman Djari Rohi.
Pada kesempatan itu, Rihi Heke meminta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sabu Raijua memantau pembangunan rumah layak huni bagi Djara Rohi.
Bupati mengakui, rumah tak layak huni di Sabu Raijua masih banyak namun melihat kondisi gubuk Djara dan anak-anaknya yang masih kecil dan anak bungsunya baru berusia 3 minggu agar pemerintah desa secepatnya membangun rumah yang layak bagi keluarganya.
"Siap hati. Keluarga, pemerintah semua sudah bantu. Kalau kerja gotong royong lebih cepat selesai," ungkap Bupati Heke.
Kepala Pelaksana BPBD Sabu Raijua, Javid Ufi Ndu mengatakan, untuk pembangunan rumah layak huni ini harus membangun rasa gotong royong. Terpenting bersedia membuka hati untuk menerima bantuan semua pihak.
"Dari mata jemaaat sudah ada, dari mata warga desa, segi pemerintah, keluarga juga ada. Hal ini tidak sulit untuk membangun rumah. Kita punya tekat niat bangun baik-baik bapak punya rumah," ungkap Javid Ufi Ndu.
Bupati Heke juga meminta kepada BPBD Sabu Raijua agar memantau pembangunan rumah ini. Begitu pun kepada Walmince Kore (80) yang tinggal sebatang kara dalam kondisi atap rumah berlubang dan ditumbuhi rerumputan agar segera dibuatkan rumah layak untuknya.
Teliti Rumah Tak Layak Huni
Penjabat Kepala Desa (Kades) Raemude, Kecamatan Sabu Barat, Hardy Wabang berpesan kepada seluruh RT dan RW agar lebih teliti saat mengecek rumah tak layak huni di masyarakat.
Sebelumnya viral di media sosial bahwa ada seorang warga desa Raemude bernama Djara Rohi (56) bersama istri dan lima orang anaknya sudah puluhan tahun tinggal di rumah yang tidak layak huni. Hanya beratapkan daun lontar di bawah rindangan pohon kesambi.
Video ini pun ditanggapi dengan berbagai komentar warga net hingga banyak juga yang mengantarkan bantuan untuk keluarga tersebut. Kemudian juga seorang nenek bernama Walmince Kore (80) yang hidup sendiri di rumahnya yang setengah atapnya sudah bocor.
Penjabat Kepala Desa Raemude, Hardy Wabang mengatakan, sebelum video ini viral, pihaknya sudah mendata bahwa keluarga Djara Rohi menjadi salah satu penerima bantuan rumah layak huni tahun ini.
Hardy mengungkapkan, untuk sementara pihak desa masih melakukan verifikasi sehingga data realnya belum pasti berapa total rumah tak layak huni di desabitu. Ia beralasan karena terkadang RT/RW yang memasukkan data usulan saat dicek ke lokasi kondisi rumah masih layak dan baik.
"Seperti yang ini. Ketika tahun lalu RT hubungi saya, kami sudah verifikasi dan beliau dapat bantuan tahun ini. Untuk jumlah total belum bisa disampaikan," ungkapnya.
Selama enam bulan jabatannya, ia tidak menampik bahwa banyak hal yang belum dilakukan. Saat ini saja sudah melakukan pembenahan administrasi, pembenahan birokrasi dan juga kunjungannya ke rumah warga belum maksimal.
Berdasarkan kuota yang dijatahkan, setiap desa minimal mendapatkan bantuan dua rumah layak huni. Sehingga untuk Djara Rohi dan Walmince sudah pasti diusulkan pada tahun 2025 ini.
Ia juga menegaskan kepada seluruh perangkat desa agar lebih teliti dalam melakukan verifikasi rumah yang dikategorikan tidak layak huni agar bantuan ini pun bisa tepat sasaran.
"Mungkin karena kesibukkaan sehingga tidak optimal. Mungkin kami dari desa akan melakukan pendampingan agar hal-hal seperti ini tidak dilewatkan," ujarnya.
Ketua RT setempat, Albertus Radja (27) memgungkapkan bahwa selama ini ia sudah mengusulkan Djara sebagai penerima bantuan rumah layak huni namun ditolaknya dengan alasan belum memiliki biaya untuk pembangunan rumah sehingga material bantuan tidak mubazir seperti sebelumnya.
Ia juga sudah melakukan koordinasi dengan keluarga Djara untuk mencari solusi agar Djara bisa keluar dari kondisi ini.
"Kita tidak lihat masa lalu. Tetapi kerja sama untuk berupaya merealisasikan usulan rumah layak huni dengan swadaya baik dari keluarga maupun pemerintah desa," tutupnya. (dhe)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.