Opini

Opini: Menuju Masa Depan Ekologi

Dalam Querida Amazonia, Paus Fransiskus menekankan perlunya penghargaan terhadap mistisisme masyarakat tradisional. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Iron Sebho 

Oleh: Iron Sebho
Tinggal di Seminari KPA St. Paulus Mataloko, Ngada - NTT

POS-KUPANG.COM - Komunitas kehidupan global akhir-akhir ini dihiasi dengan kerusakan hutan, banjir, pemanasan global, perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara dan tanah, serta kerusakan ekosistem laut. 

Pola eksesif dan tidak ekologis, serta tidak ramah lingkungan menyebabkan ketimpangan realitas kosmos. 

Gaya hidup konsumtif dan represif menyebabkan kerusakan alam yang tak terkendalikan. 

Budaya konsumerisme, hedonisme, dan materialisme mendominasi kehidupan, sehingga melemahkan nilai-nilai budaya, norma, dan juga tradisi yang hidup di dalam masyarakat. 

Lemahnya tata nilai budaya, norma, dan tradisi mengindikasikan imperialisme baru terhadap alam. 

Keluhuran alam yang memiliki nilai transendental dinaifkan dan dipandang sebagai bentuk berhala modern. Penghormatan terhadap alam diasosiasikan dengan bentuk kelemahan serta ketakberdayaan manusia. 

Sikap otoritatif dari manusia mengafirmasi usaha manusia untuk membebaskan dirinya dari nilai-nilai budaya dan tradisi. 

Penghormatan terhadap alam dipandang sebagai kepercayaan kuno yang bernilai mistis-magis dan takhayul. 

Ritual-ritual penghormatan terhadap alam dinilai obsesif atau sebagai bagian patologi dari sistem kepercayaan masyarakat. Bahkan Sigmund Freud pernah menyebutnya sebagai kegilaan obsesi universal.

Kembali ke Akar Budaya

Budaya menjadi titik refleksi untuk menjaga dan melestarikan alam. Sebelum penetrasi teknologi menguasai peradaban modern, praktik-praktik budaya telah menciptakan keseimbangan kosmos. 

Upaya untuk kembali melihat keyakinan budaya tentang alam merupakan proses menemukan kembali keharmonisan relasi antara manusia dengan alam.

Bahwasanya, keterpaduan hidup antara manusia dan alam merupakan keadaan kodrati yang tidak dapat direduksi oleh situasi apa pun. 

Terlepas bahwa alam dapat diolah sebagai sumber yang menghasilkan berbagai kebutuhan hidup manusia, kita perlu menjaga dan merawatnya untuk menciptakan stabilitas dan kontinuitas kehidupan.

Sudut pandang universal mengklaim penghormatan terhadap alam sebagai sesuatu yang irasional. 

Namun, paradigma tentang alam dalam masyarakat tradisional memiliki jalinan yang logis, terutama yang terungkap dalam bahasa dan pola-pola sosial. 

Perlu diakui bahwa alam pikiran masyarakat tradisional sangat dipengaruhi oleh mitos. 

Namun, mitos telah merumuskan sebuah tujuan dan membantu masyarakat tradisional mencapai kesatuan integral dengan semua komponen kehidupan. 

Hubungan vital yang dibangun oleh masyarakat tradisonal dalam kaitannya dengan ciptaan yang lain, pertama-tama bukan merujuk pada subjek yang dihormati, tetapi merujuk pada realitas yang melampuinya.

Dalam sudut pandang ini terjadi hubungan timbal balik yang membentuk ruang sosio-mitis.

Sakralitas Alam

Dalam Querida Amazonia, Paus Fransiskus menekankan perlunya penghargaan terhadap mistisisme masyarakat tradisional. 

Masyarakat tradisional melihat adanya interkoneksi dan saling ketergantungan antara seluruh ciptaan. 

Mistisisme masyarakat tradisional membawa umat manusia mencintai kehidupan sebagai anugerah. Alam dan segala bentuk kehidupannya terdapat sesuatu yang suci dan sakral. 

Matthew T. Evans mendefinisikan sakralitas alam berkaitan dengan The Religious Sacred (Yang Sakral Religius), yang mengarah pada segala sesuatu yang dijiwai makna-makna nonduniawi.

Pendekatan fenomenologi dalam studi antropologi religi menemukan gambaran tentang manusia sebagai makhluk religi. 

Analisis fenomenologi memetakan dunia masyarakat tradisional biasanya penuh dengan yang suci, yang hadir secara simbolis dalam ritus dan simbol. 

Penampakkan dari yang suci (hierofani) pada masyarakat tradisional bertolak dari pemahaman tentang kosmos yang terbuka pada realitas transenden. 

Matahari, bulan, bumi, air, gunung, batu karang, pohon, maupun gua dapat menjadi hierofani (Hans J. Daeng, 2000).

Pengakuan mutual terhadap sakralitas alam berimplikasi pada tindakan kasih dan pertobatan ekologis. Ini merupakan sebuah konformitas terhadap hukum kehidupan yang harus diperjuangkan demi keberlanjutan semua ciptaan. 

Manusia wajib mencintai alam sebagaimana alam memiliki alasan yang sama untuk menyelamatkan hidupnya apabila berada dalam posisi terbalik. 

Pertobatan ekologis merupakan sebuah spiritualitas untuk memahami kualitas hidupan seluruh ciptaan. Melalui semangat pertobatan manusia menemukan kegembiraan dan damai dalam kehidupan. 

Kehidupan yang bersahaja dan bahagia, serta penuh damai membuat manusia mendengarkan kata-kata cinta yang dinyanyikan oleh alam.

Kerusakan ekologi akibat hegemoni manusia membuka selubung paradigma untuk Kembali kepada budaya sebagai inspirasi dan motivasi perawatan ekologi.

Kearifan lokal yang telah dihidupi oleh masyarakat tradisional dilihat jauh lebih luhur dan harmonis dalam relasinya dengan alam, dan seluruh komunitas ekologi. 

Masyarakat tradisional melihat keseluruhan kosmos sebagai entitas terpadu dan sakral. 

Sekalipun tidak ada disparitas antara yang sakral dan profan, namun pola-pola sosial yang dihayati oleh masyarakat telah menciptakan keseimbangan ekosistem kehidupan. 

Oleh karena itu, nilai-nilai budaya perlu dihidupkan dan difasilitasi dalam kebijakan-kebijakan politik, agar tata nilai dan tradisi untuk mengembangkan perilaku ekologis tidak hilang ditelan keserakahan zaman. 

Mandat budaya untuk menghormati dan menghargai alam perlu dikembangkan secara
berkelanjutan. Sebab jeritan bumi dewasa ini kian tak tertangguhkan. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved