Berita Kota Kupang

Seminar Ekumene Angkat Tema Praksis Berteologi dalam Aneka Perspektif di Era Disrupsi

Dijelaskan Pdt. Lintje konstruksi gender ini memiliki dampak dalam relasi masyarakat. Kita lihat, bahwa harus di dekonstruksikan kembali. 

Penulis: Rosalia Andrela | Editor: Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/ROSALIA ANDRELA
Seminar Ekumene bertema Praksis Berteologi dalam Aneka Perspektif di Era Disrupsi digelar di Hotel Cahaya Bapa Kupang, pada Rabu, 18 Desember 2024. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Rosalia Andrela 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Seminar Ekumene digelar di Hotel Cahaya Bapa Kupang, pada Rabu, 18 Desember 2024.

Seminar bertajuk Praksis Berteologi dalam Aneka Perspektif di Era Disrupsi ini, menghadirkan beberapa narasumber antara lain: Antropolog Unwira Kupang, P. Gregor Neonbasu, SVD, PhD membawakan materi Teologi Antropologi dalam Cita Rasa Masyarakat di NTT, Dosen Unkris Artha Wacana Kupang, Pdt. Dr. Lintje Pellu, M.Si membahas tentang Dinamika Teologi Feminis dan Sikap Solider dalam Menata Kehidupan Keluarga Kristiani), Teolog dan staf pengajar program doktoral STT IKAT Jakarta, Pdt. Dr. Ruben Nesimnasi, M.Th membawakan materi tentang Teologi Praksis dalam Memperkokoh Spirit Pelayanan Kristus di Dunia.

Pada seminar tersebut hadir pula mantan wakil gubernur NTT sekaligus akademisi, Drs. Josef A Nae Soi, M.M., memberikan refleksi tentang berteologi di era disrupsi.

Ketua Panitia kegiatan, Very Guru dalam pembukaan menyampaikan teologi adalah refleksi atas iman. Teologi yang tidak berakar dalam alkitab, bukanlah teologi yang sejati. 

“Era disrupsi merubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat luas termasuk di provinsi NTT. Teologi harus dimaknai dan terbuka pada fenomena kehidupan nyata. Berteologi tidak boleh hanya mencermati dan menikmati literatur dari masa lampau. Teologi harus menjadi sempurna dan terbuka terhadap kontribusi ilmu dari disiplin lain,” ungkapnya.

Pdt. Dr. Ruben mengatakan berbicara teologi berarti berbicara tentang Allah, tetapi berteologi apa yang kita pikirkan dan apa yang dikatakan tentang Allah.

“Alkitab dalam praksis berteologi, gereja menjadi subjek dalam membaca dan menafsirkan alkitab cenderung melibatkan akademisi dan kurang melibatkan awam,” ujarnya.

Disampaikan Pdt. Ruben, problematika yang perlu direnungkan adalah apakah dalam keanekaragaman penafsiran alkitab, dan praksis berteologi merupakan kekayaan atau masalah.

“Alkitab mengungkapkan pengalaman dasar iman yang dikenal, terus dibaca berulang-ulang diinterpretasi, di reinterpretasi, dimodifikasi, dan diaktualisasikan dalam dinamika kehidupan,” jelasnya.

Pemaknaan terhadap alkitab lanjutnya, terbuka dan dapat dimaknai sesuai perkembangan zaman. Membaca alkitab dan berteologi dalam keanekaragaman membuahkan bukan saja kenyataan yang wajar dan manusiawi, melainkan kekayaan dalam berteologi.

Diperlukan perubahan mindset untuk bisa belajar menerima keragaman dan perbedaan, dalam semangat cinta kasih , kejujuran dan inklusif dalam mencari kebenaran bersama.

Baca juga: Gelar Seminar Ekumene, Hadirkan Teolog STT IKAT Jakarta sebagai Narasumber

Sementara itu Dr. Lintje menyampaikan dalam masyarakat erat kaitannya dikonstruksikan secara gender. 

“Apa harapan dari masyarakat nilai dan budaya bagi keberadaan? Banyak terjadi ketimpangan dan ketidakadilan dalam salah satu gender. Perempuan dalam gereja dan masyarakat banyak diposisikan pada posisi yang kelas dua, inferior, submisif dan lainnya sedangkan laki-laki sebaliknya. Konstruksi ini ternyata tidak menguntungkan dan tidak membawa kebaikan yang Tuhan mau, untuk semua orang rasakan. Image diri ini akan merugikan perempuan,” jelasnya.

Dijelaskan Pdt. Lintje konstruksi gender ini memiliki dampak dalam relasi masyarakat. Kita lihat, bahwa harus di dekonstruksikan kembali. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved