Opini

Opini: Tanah Surga Penuh Luka, Pemimpin Baru Bisa Menyembuhkan?

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ibarat sebuah layar baru yang dikembangkan di tengah badai, membawa asa akan perubahan. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Tian Rahmat 

Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Maumere,Pemerhati Isu-isu strategis

POS-KUPANG.COM - Nusa Tenggara Timur (NTT), laksana permata di peraduan Nusantara, kaya akan keelokan alam dan ragam budaya, dari puncak bukit yang memeluk awan hingga lautan biru yang membisikkan kisah leluhur. 

Namun, di balik keindahan ini, tersimpan ironi yang menusuk hati: ketimpangan sosial dan jerat kemiskinan yang seakan tak kunjung pergi.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ibarat sebuah layar baru yang dikembangkan di tengah badai, membawa asa akan perubahan. 

Pemimpin baru yang terpilih bukan hanya membawa janji, melainkan juga mimpi mimpi rakyat NTT untuk merdeka dari derita, dari ketidakadilan yang menahun, dan dari ketimpangan yang merampas hak dasar mereka.

Namun, seperti pepatah bijak, “Alur nasib tidak pernah lurus, keberhasilan tak pernah instan.” 

Maka, hemat saya wajar bila muncul pertanyaan: akankah pemimpin baru ini menjadi nahkoda yang bijak, membawa kapal NTT ke dermaga kesejahteraan?

Ketimpangan Sosial-Ekonomi yang Mendasar

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi NTT adalah ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat mencolok. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT 2023, provinsi ini memiliki angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, mencapai 20,34 persen dari total penduduk.

Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional yang hanya 9,4 persen. 

Fenomena ini mencerminkan ketidakmerataan pembangunan yang masih terjadi, meskipun NTT memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti hasil pertanian, perikanan, dan pariwisata.

Menurut Dr. Adrianus Meliala, seorang ahli sosiologi dari Universitas Indonesia, ketimpangan ini muncul akibat dari kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan sektor-sektor tertentu tanpa memperhatikan keberlanjutan dan pemerataan hasil.

“Pembangunan yang tidak memperhatikan distribusi sosial akan menciptakan kesenjangan yang semakin besar, yang akhirnya menjerat sebagian besar masyarakat di daerah terpencil dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus,” ujarnya dalam buku Sosiologi Pembangunan: Antara Teori dan Realitas (Meliala, 2019).

Ketimpangan ini juga tercermin dalam akses pendidikan dan kesehatan yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved