Berita NTT
JPIT Bangun Monumen Peringatan Tragedi 1965 di Oesao, Pulihkan Hak Korban Pelanggaran HAM
Kegiatan peresmian monumen di Oesao meliputi acara pengguntingan pita, pembukaan tirai prasasi, peletakan karangan bunga, dan doa bersama
Penulis: Yohanes Alryanto Tapehen | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS KUPANG.COM- Ryan Tapehen
POS KUPANG.COM, OELAMASI - Sebuah monumen peringatan untuk korban tragedi 1965 dibangun di pekuburan Oesao Kupang Timur dimana lokasi itu merupakan tempat 18 orang pernah ditangkap, disiksa, dan dibunuh secara sewenang-wenang pada periode 1965–1966.
Pembangunan monumen yang diinisiasi oleh Perkumpulan JPIT ini merupakan bagian dari proses pemulihan kembali hak-hak ratusan korban pelanggaran HAM yang terjadi kala itu yang sering dikenal dengan istilah tragedi 65'.
Monumen ini diresmikan pada Sabtu 7 Desember 2024 yang dihadiri perwakilan tim JPIT, para penyintas, pemerintah daerah, Komnas HAM, Komnas Perempuan, MPH PGI, MS GMIT, Majelis Klasis (MK) Kupang Timur, Majelis Jemaat (MJ) Imanuel Oesao, Polres Kupang, LPSK, pemerintah desa dan kecamatan setempat, akademis, juga LSM dengan jumlah kurang lebih 70 orang.
Kegiatan peresmian monumen di Oesao meliputi acara pengguntingan pita, pembukaan tirai prasasi, peletakan karangan bunga, dan doa bersama.
Peresmian tersebut akan dilanjutkan dengan ibadah syukur dan sambutan dari Ketua MS GMIT dan Ketua Komnas HAM RI.
Ketua Pengawas JPIT, Pdt. Mery L.Y. Kolimon yang dihubungi mengungkapkan pembangunan monumen ini usai Presiden Joko Widodo telah mengakui adanya pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia pada 11 Januari 2023 lalu.
Kala itu presiden Jokowi juga mengeluarkan instruksi kepada 17 lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian untuk berkoordinasi dengan lembaga independen di luar eksekutif demi menyelesaikan seluruh rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Masa Lalu (PPHAM).
Terkait itu telah dibentuk Tim PPHAM di tingkat nasional. Presiden juga menyampaikan bahwa pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana.
Selain itu, pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang.
Salah satu rekomendasi Tim PPHAM, adalah pembangunan memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.
"Berdasarkan penelitian JPIT yang dilakukan sejak 2009, terdapat ratusan orang yang ditangkap, disiksa, dan dibunuh secara sewenang-wenang pada periode 1965–1966 di NTT. Mereka yang tidak dibunuh diharuskan wajib lapor, kerja paksa, serta memikul stigma dan diskriminasi di dalam masyarakat selama bertahun-tahun kemudian," ungkap mantan Ketua Sinode GMIT ini.
Bahkan kata dia beberapa dampak masih dirasakan oleh para korban dan penyintas hingga hari ini seperti hubungan kekerabatan hancur, trauma, dan masih banyak korban yang belum mau membuka diri.
Selain mendokumentasikan, menyuarakan kisah korban dan penyintas, serta melakukan pendidikan kepada masyarakat melalui diskusi buku dan kampanye, JPIT telah mendampingi dan mengadvokasi hak korban dan penyintas.
Sejak tahun 2013 JPIT bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan juga stakeholders di tingkat lokal seperti Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (MS GMIT), akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk mengadvokasi hakhak para korban.
Atas permintaan dari para korban dan penyintas ’65 yang didampingi, JPIT mengupayakan pembangunan sebuah monumen sebagai salah satu bentuk pendidikan publiknbagi masyarakat.
Monumen itu juga dimaksudkan sebagai sarana pengungkapan sejarah kelam tragedi 1965–1966 yang pernah terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.