Opini
Opini: Memahami Monarkhi Ketakutan Guru
Dampak monarki ketakutan ini adalah terciptanya ketidaknyamanan dan kecemasan yang menghambat pengembangan pendidikan yang kreatif dan berkualitas
Oleh: Dr. Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Katolik (MNPK) dan Sekjen Badan Musayawarah Perguruan Tinggi Swasta (BMPS) Pusat
POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Meskipun tunjangan sertifikasi dan kenaikan gaji guru diniatkan sebagai upaya untuk memperkuat profesionalisme dan kesejahteraan, kenyataan bahwa kebijakan pendidikan yang sering berubah serta sistem evaluasi yang rigid justru membuat banyak guru terjebak dalam monarkhi ketakutan terhadap hilangnya otonomi, kreativitas, dan integritas profesional mereka.
Guru yang "takut kehilangan profesionalisme mereka" dalam konteks monarki ketakutan merujuk pada perasaan cemas, stress dan tertekan yang muncul akibat kebijakan pendidikan yang otoriter dan kontrol yang berlebihan dari pihak berwenang dari pemerintah pusat, provinsi dan dinas kabupaten kota, serta pengawas sekolah yang membatasi kebebasan dan kreativitas mereka dalam menjalankan tugas mengajar di ruang kelas sekolah.
Dalam sistem yang berpusat pada otoritas, seperti yang diilustrasikan oleh konsep monarki ketakutan, guru merasa terancam oleh sanksi atau hukuman yang bisa dikenakan jika mereka tidak mengikuti aturan atau standar yang ditetapkan, meskipun aturan tersebut mungkin tidak relevan dengan kondisi nyata di lapangan.
Monarkhi ketakutan ini bisa membuat guru merasa terperangkap dalam sistem yang menilai mereka hanya berdasarkan kriteria administratif atau hasil ujian, alih-alih menghargai kompetensi profesional mereka yang lebih holistik yaitu kompetensi kepribadian, pedagogis, sosial dan profesional.
Sebagai akibatnya, para guru mungkin merasa bahwa kebebasan untuk mengembangkan metode pengajaran yang kontekstual sesuai dengan potensi , bakat, talenta, kebutuhan siswa serta pengakuan atas keahlian mereka sebagai pendidik, terancam hilang bahkan punah.
Dalam keadaan seperti ini, ketakutan kehilangan profesionalisme muncul karena guru tidak dapat lagi berfungsi sepenuhnya sebagai pendidik holistik yang mandiri, kiritis, dan kreatif, inovatif dan berjiwa entrepreneurship melainkan lebih sebagai pekerja kasar yang tunduk pada kebijakan dan kontrol yang sering kali bersifat administrativf, formalitas, mekanistik dan kaku procedural belaka.
Monarkhi Ketakutan
Fenomena ketakutan profesionalisme guru bukan hanya sekadar masalah psikologis atau kesejahteraan material-finansial yang terkadang konsumtif, tetapi juga terkait dengan monarki ketakutan—konsep yang menggambarkan bagaimana kekuasaan yang terpusat dan otoriter membentuk ketakutan yang mendalam di kalangan individu, termasuk guru.
Dalam konteks ini, negara dan sistem pendidikan nasional yang terlalu terpusat dari Jakarta dapat menciptakan iklim di mana guru merasa tertekan untuk selalu mematuhi aturan yang sering kali tidak mempertimbangkan kenyataan di lapangan.
Monarki ketakutan bekerja melalui sistem kontrol yang ketat dari atas, baik berupa kebijakan yang berubah-ubah, penilaian kinerja yang mengancam, hingga ancaman sanksi administratif atau pemecatan, yang membuat guru merasa bahwa profesionalisme mereka harus tunduk pada otoritas yang lebih besar daripada nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Ketakutan ini menyebabkan guru tidak hanya merasa terancam kehilangan pekerjaan atau reputasi mereka tetapi juga merasa bahwa integritas profesional mereka terkompromikan, karena mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan tuntutan eksternal yang tidak selalu mencerminkan kebutuhan dan pemekaran seluruh potensi siswa.
Konsep moarnkhi ketakutan sering dikaitkan dengan pandangan filsuf politik seperti Thomas Hobbes, yang dalam karya utamanya Leviathan (1651), menganggap negara sebagai entitas yang dibentuk untuk menghindari "Keadaan perang semua melawan semua," dimana ketakutan terhadap kekerasan dan ketidakpastian mendorong rakyat untuk menyerahkan kebebasan mereka demi keselamatan.
Baca juga: Bukan Rp 2 Juta, Tunjangan Sertifikasi Guru Honorer Naik Rp 500 Ribu
Namun, dalam konteks filsafat kontemporer, gagasan tentang monarki ketakutan lebih lanjut dianalisis oleh Michel Foucault, yang mengeksplorasi bagaimana kekuasaan dalam masyarakat modern beroperasi melalui mekanisme kontrol psikologis dan institusional.
Foucault menyoroti bagaimana struktur kekuasaan tidak hanya menggunakan fisikitas kekerasan, tetapi juga menciptakan norma dan aturan sosial yang memperkuat ketakutan dan kepatuhan terhadap otoritas. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Martha Nussbaum dalam pemikirannya tentang Monarchy of Fear (2018) mengungkapkan bahwa ketakutan merupakan elemen dasar yang digunakan oleh struktur kekuasaan untuk mengendalikan masyarakat, menciptakan ketidakamanan yang mendorong ketergantungan pada otoritas. Ia berargumen bahwa ketakutan ini, jika tidak ditangani dengan bijaksana, dapat mengikis kemampuan individu untuk berpikir kritis dan bertindak otonom, sehingga memperkokoh dominasi otoriter yang merugikan demokrasi dan kesejahteraan sosial.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.