Cerpen
Cerpen: Puisiku Yang Kamu Baca
Demikian akhir-akhir ini, aku senantiasa ditemani oleh kondisi badmood. Memang demikianlah hidup. Kata dosenku.
Oleh: Irenius Boko *
“Apa? Kamu pikir kehadiranku tidak menjadi sebab bagi nalarmu untuk melahirkan kata? Dasar bajingan. Tidak pernah merasa air mata menjamah wajah”.
Demikian akhir-akhir ini, aku senantiasa ditemani oleh kondisi badmood. Memang demikianlah hidup. Kata dosenku.
Hidup itu senantiasa berada pada kondisi konkordansi dan diskordansi. Senantiasa ada keinginan untuk menjalankan hidup yang penuh dengan kegembiraan.
Selalu saja ada elemen yang ingin mengancurkan kepenuhan gembira tersebut.
“Apakah akan terus begitu?”
***
Jika ada yang mengatakan bahwa proses senantiasa tidak mengkhianati hasil, kupikir pepatah itu tidak realistis dengan apa yang terjadi dalam hidupku. Tahap demi tahap telah aku lalui.
Semuanya nihil. Mungkin aku hanya ditakdirkan untuk menikamati alunan musik dari jari-jari orang yang menari dengan begitu indah di atas tust piano.
Setiap kali mendengar alunan musik, imajinasi menghantarkan aku pada kondisi ilusi sedang bermain piano.
Ahhh, demikianlah jika keinginan tidak dibarengi dengan kemampuan.
“tidak perlu bermimpi untuk bisa menarikan jarimu di atas piano”
“mengapa demikian”
“kamu terlalu bodoh untuk bisa memahaminya”
“lalu?”
Aku tidak bisa menemukan jawaban apapun ketika berdialog dengan diriku tentang apakah aku bisa bermain piano.
Nada-nada yang dihasilkan dari tust hitam putih piano telah memikatku.
Egoku mengajak agar jangan hanya menjadi penikmat bunyi yang indah.
Aku mesti bisa juga memposisikan orang lain menikmati harmoni piano. Dari jariku yang menari.
Namun, logikaku mengajak untuk bertengkar.
“dasar bodoh”
“apa?”
“mengapa kamu belum sadar akan kelemahanmu?”
“aku tidak ingin kelehaman bercokol dalam diriku”
“ambisi buta, telah membuatmu melihat orang lain sebagai musuhmu. Orang lain juga akan kau jadikan budak yang senantiasa setia menikmati permainan pianomu. Namun, kau tidak pernah sadar. Ambisi buta, telah menuntut kau untuk menikmati utopia.”
Sejenak aku merenung. Alih-alih tidak mendapatkan jawaban yang pasti, kakiku melangkah keluar dari ruangan musik.
Demikianlah keseharianku usai ujian akhir semester 4. Ketika banyak
mahasiswa berbondong-bondong mengunjungi kafe, atau membuat jadwal liburan, aku masih beradu dengan ego untuk bisa bermain piano. Sebelum senja, aku berangkat menuju Kampus.
Usai senja, aku meninggalkan kampus. Acap kali teman-teman mengajak untuk menikmati senja dengan seteguk kopi di atas gunung atau di tepi pantai.
Aku masih nyaman dengan melewati senja sambil memandang piano yang diletakan dengan rapi tepat di sudut kanan ruangan musik.
Sesekali berusaha meletakan jari di atas tustnya dan belajar dengan sistem otodidak.
“bermain piano tidak sama dengan kamu merangkai kata dalam puisi-puisimu yang bertebaran di berbagai media.”
Demikianlah ungkapan Tasya teman seperjuanganku sejak Sekolah Dasar
hingga perguruan tinggi.
Bahkan kami tetap memilih untuk satu jurusan, Sastra Indonesia.
Tasya tahu betul bahwa untuk kesekian kalinya aku sangat hebat dalam berpuisi. Dan ketika egoku menuntut untuk bisa bermain piano, Tasya mengingatkanku.
“Boy, berhenti melayani egomu. Kamu semestinya fokus dengan tugasmu untuk membimbing mahasiswa Sastra semester 2. Jangan begitu sibuk dengan melewati senja menatap piano. Kau harus melewati senja dengan membagi ilmumu bagi adik-adik semester kita.”
***
“Boy, apa kamu ingat puisi yang kau buat untukku agar usai dalam tangis?”
“Ya, aku ingat”
Sudahilah tangismu
Senja sudah beranjak kembali
Sedari tadi, hujan yang sengaja kau ciptakan
Sudah begitu puas merabah pipimu
Baru selangkah, hentakan kudengar
Dari seberang jalan
Biarkan saja, sebab suaranya akan lenyap
Dengan ayunan langkah
Teruslah berjalan
Sebab, wajah langit sudah mulai redup
Dan ketukan pertama itu lenyap
Ketika tangismu sepi
Dan hujan tak lagi berani
Menyentuh pipimu
“mengapa kamu masih menangisi egomu untuk bermain piano?”
“Tasya, aku hanya ingin memahami bunyi dari tust piano untuk merangkai puisi. Bunyi dari tust piano mesti yang kuhasilkan sendiri”
“cukup! Sebagai sahabatmu, aku memahaminya. Tapi kali ini kau mesti fokus dengan tugas yang diberikan dosen. Ingat! Ini kesempatan bagimu.
Semeter 5 antologimu mesti sudah dicetak.
Kamukan ingin diterbitkan oleh penerbit ternama”
“demikianlah harapanku”
“ dan dosen yang memberimu tugas adalah CEO penerbit tersebut”
Mendengar kata-kata terakhir dari Tasya, opitimisku mulai membaik.
Kemarin dia senantiasa melayani ego untuk bermain piano. Kini dia mulai memposisikanku untuk fokus pada rencana yang sudah ada sejak semester satu di program study sastra Indonesia.
Penuh semangat. Sebelum senja, aku menuju kampus.
Usai senja, bersama Tasya menikmati puisi-puisiku yang diterbitkan dimedia massa. Demikianlah keseharianku bersama Tasya.
Ya Tasya teman yang tahu betul akan perjuangku. Dalam setiap puisiku tak lepas dari kehadirannya.
Bahkan dirinya pernah ku jadikan objek puisi. Sesekali Tasya menggantikanku untuk membimbing semester 2, karena aku sibuk mengumpulkan puisiku. Namun, hampir setiap hari kami melewati hari bersama. Bahkan sampai mentari menyapa.
***
Sejak sebulan yang lalu ketika sah sebagai mahasiswa semester 5, aku mulai mengubah tempat untuk merenung.
Apabila selama ini aku dan Tasya melewati hari bersama di taman kampus, kini aku mesti sendirian menikmati senja di tepi pantai.
Sebab, sejak sebulan lalu, Tasya mesti keluar Kota untuk menyelesaikan Project cerpennya.
Aku tidak lagi membimbing mahasiswa semester 2 yang kini sudah semester 3. Hal ini karena kekeselanku pada seseorang yang dulunya pernah
kuberikan hati untuknya menginap.
Aku geram, puisiku yang dibacanya sehingga kini dia bisa satu program studi bersamaku. Ya, sebulan lalu, dia pindah ke kampusku.
“aku jijik dengan puisimu Boy”
“apa? Jijik?”
Demikianlah percakapan kami waktu itu yang membuatku memintanya untuk meninggalkan hatiku.
Aku pun tidak mengetahui bahwa usai perpisahan itu, dia terus membaca puisiku. Entah di bukunya yang sering aku tulis ataupun di media.
“Boy?”
“Tasya?, kamu sudah pulang?”
“iya, aku membawakan hadiah untukmu”
‘Puisiku Yang Kamu Baca’, Penulis; Irenius Boko
“Antologi Puisiku?”
“Iya, Penerbit sengaja tidak menginformasikanmu terlebih dahulu. Itu pesan dari kepala penerbit”
‘Puisiku Yang Kamu Baca’ judul antologi puisiku untuk menyadarkan orang yang tidak tahu terima kasih akan dampaknya yang cukup besar bagi perkembangan akademiknya.
Tasya juga tahu tentang orang itu yang pernah memaki puisiku. Tapi kini, aku mulai merasa nyaman dengan Tasya. Aku sadar bahwa sesungguhnya Tasya adalah orang yang tepat untuk memiliki hatiku.
Tasya menikmati puisiku, sehingga membuatku keluar dari ego buta yang sempat membuat lupa akan rencana menerbitkan antologi. (*)
*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang. Juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Pikiran (KoPi) Fakultas Filsafat yang bergiat dalam menulis opini dan diskusi. Selain itu, Penulis juga menjabat sebagai Ketua DPM Unwira Kupang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.